Model Marketing Politik Ala Indonesia?

  • Whatsapp

Review Buku Denny JA : MEMBANGUN LEGACY, 10 P Untuk Marketing Politik, Teori dan Praktek
MODEL MARKETING POLITIK ALA INDONESIA?
Dr. Eriyanto  Apa yang penting dari buku ini, buku hasil renungan dan perjalanan panjang Denny JA, selama 17 tahun sebagai pelaku marketing politik?


Latar belakang Denny sendiri cukup lengkap. Di dunia marketing politik, Ia seorang praktisi tapi juga akademisi.
Ia mendapatkan pendidikan formal, meraih doktor  dalam bidang politik dari Ohio State University (Amerika).  Ia juga kolumnis dan penulis buku yang sangat produktif. 
Sebagai praktisi, ia adalah salah satu pelopor yang memopulerkan survei opini publik di Indonesia lewat Lembaga Survei Indonesia (LSI). Ia juga pelopor dan founding father bagi profesi konsultan politik lewat Lingkaran Survei Indonesia. 


Denny juga seorang pengusaha yang merambah banyak bidang, dari kuliner, convenience  stores, hotel, bisnis online, perkebunan, hingga perumahan. Latar belakang yang lengkap (akademik dan praktisi) ini membuat Denny sangat kompeten untuk menulis buku mengenai marketing atau pemasaran politik. Pemasaran politik sendiri adalah bidang ilmu yang unik. Di satu sisi, pemasaran politik adalah bidang ilmu yang praktis, berkaitan dengan taktik atau strategi agar partai atau kandidat memenangkan pemilihan. 


Di sisi lain, pemasaran politik juga bidang ilmu yang serius yang merupakan integrasi dari berbagai disipilin ilmu, mulai dari politik, pemasaran, komunikasi, sosiologi hingga psikologi. 
Paul Ormrod, dengan baik menjelaskan pemasaran politik ini dengan definisi sempit dan luas. Dalam arti sempit, pemasaran politik adalah serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh partai atau kandidat agar memenangkan pemilihan. 
Aktivitas itu mengadopsi pendekatan dan teknik dalam dunia pemasaran produk komersial, seperti riset pasar, segmentasi, positioning, kampanye dan sebagainya. 
Sementara dalam arti luas, pemasaran politik adalah pertukaran (exchange) antara organisasi politik dengan stakeholders. Pemasaran politik mengintegrasikan berbagai pendekatan untuk menjelaskan pertukaran dan interaksi di antara berbagai stakeholders. Lewat buku ini, Denny memperkenalkan gagasan model pemasaran politik yang disebutnya sebagai model 10P. 
-000-


Untuk menilai model 10P, ada baiknya kita tinjau terlebih dahulu pengertian model dalam pemasaran politik. 
Pemasaran politik itu sendiri sangat luas. Pemasaran politik mengidentifikasi dan merespons apa yang diinginkan oleh warga (pemilih), untuk kemudian mendesain, memproduksi dan mengirimkan produk yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pemilih tersebut. 
Ruang lingkup pemasaran politik bisa dikatakan dari hulu (riset) hingga hilir (ketika pejabat publik terpilih). Untuk menggambarkan kompleksitas dan luasnya cakupan pemasaran politik, para ahli membuat model sebagai penyederhanaan. Dalam literatur pemasaran politik, dikenal dua model yang menggambarkan pemasaran politik, yakni model yang diperkenalkan oleh Robert I. Newman (Guru Besar marketing DePaul University) dan Jennifer Lees-Marshment (pengajar pada University of Auckland).  


Kedua model ini, berbeda satu sama lain. Mereka menggambarkan bagaimana pemasaran politik tergantung kepada konteks pemilihan dan sistem politik di suatu negara. Model Newman, bisa kita sebut sebagai model “Amerika”, karena Newman membuat model berdasarkan pada studi pemasaran politik di Amerika. 
Pemilihan di Amerika berbasiskan pada kandidat. Partai diwakili dan dipersonalisasikan dalam diri kandidat. Ciri penting lain, identifikasi partai (Party ID) di Amerika sangat tinggi. 
Pemilih dari Partai Demokrat misalnya, lebih cenderung untuk memilih kandidat dari Partai Demokrat dan demikian juga sebaliknya untuk pemilih yang mengidentifikasi dirinya sebagai pemilih Partai Republik. 
Kandidat yang maju dalam pemilihan di Amerika bertarung dalam ceruk yang sempit. Partai-partai di Amerika (Demokrat dan Republik), mempunyai tradisi kepartaian yang panjang yang membuat kedua partai memiliki kepemilikan isu (issue ownership) yang berbeda. 
Partai Republik identik dengan program pajak rendah, persaingan bisnis yang sehat dan jaminan kepemilikan pribadi (termasuk senjata api). 
Sebaliknya Partai Demokrat identik dengan layanan jaminan sosial, dan pajak yang tinggi. 


Kandidat yang bersaing dalam pemilihan umum (pemilu) di Amerika dihadapkan pada sejarah kepartaian ini. 
Kandidat dari Partai Demokrat misalnya, tidak akan membuat platform (program kerja) yang bertentangan dengan nilai-nilai Partai Demokrat.
Dengan konteks sistem politik dan pemilihan seperti itu, bagaimana seorang kandidat di Amerika bisa memenangkan pemilihan? Dalam modelnya, Newman menekankan pada tiga kunci pemasaran politik. 
Pertama, identifikasi segmentasi pemilih. Kandidat harus melakukan penelitian yang cermat untuk mengidentifikasi segmen-segmen pemilih dan posisi kandidat di masing-masing segmen. 


Segmentasi ini berguna sebagai dasar dalam melakukan targeting. Yakni segmen pemilih yang dijadikan target kampanye yang bisa menjamin kemenangan kandidat. Segmen pemilih yang sulit diubah pilihannya misalnya, tidak akan menjadi target kampanye. 
Kedua, positioning. Ini adalah upaya kandidat untuk membedakan dirinya dengan kandidat lain, dan menanamkan gambaran yang kuat dalam benak pemilih. Positioning bisa dibuat dengan mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan kandidat dan kompetitor. 
Ketiga, pencitraan segmentasi dan positioning diimplementasikan dalam kampanye yang sistematis kepada pemilih, terutama lewat pencitraan kepada pemilih. Model Lees-Marshment, sebaliknya bisa disebut sebagai model “Inggris”, karena didasarkan pada praktik pemasaran politik di Inggris, terutama Partai Buruh. 


Berbeda dengan Amerika, pemilihan di Inggris berbasiskan pada partai. Ketua partai adalah sekaligus kandidat perdana menteri. 
Jika pemilihan di Amerika sangat personal (berbasiskan pada kandidat), pemilihan di Inggris justru adalah pertarungan antarpartai. Perbedaan lain yang penting, identifikasi partai-partai di Inggris tidak setinggi di Amerika. 
Pemilih di Inggris mudah berpindah partai dibandingkan dengan pemilih di Amerika. Partai-partai kemudian harus merancang program yang bisa menarik dukungan pemilih yang bisa berubah setiap saat. Kunci kemenangan pemilihan di Inggris, menurut Lees-Marshment adalah kemampuan partai (dan kandidat) dalam menangkap kebutuhan pemilih, dan kemudian merancang produk politik agar sesuai dengan kebutuhan pemilih tersebut. 


Lees-Marshment menekankan pada tiga aktivitas kunci pemasaran politik. Pertama, penyelidikan pasar. Partai yang menjalankan pemasaran politik adalah partai yang berorientasi pada pasar (Market Oriented Party/MOP). 
Partai yang berorientasi pada pasar (pemilih) menjadikan pemilih sebagai tujuan dan fokus utama. Produk politik (seperti platform, program, rencana kerja, hingga logo dan slogan) dibuat setelah mendengarkan keinginan pemilih lewat riset pasar. 
Kedua, pembuatan produk (product development). Partai harus terus-menerus menyesuaikan diri dengan keinginan pemilih, dengan merancang produk yang sesuai dengan keinginan pemilih. 
Aktivitas pemasaran politik, karena itu tidak hanya sebatas pada segmentasi, targeting dan positioning, tetapi lebih jauh adalah mendesain produk politik (platform dan program kerja). 
Partai harus terus-menerus mengubah produk politiknya disesuaikan dengan perubahan keinginan pemilih. 


Ketiga, kampanye internal. Produk politik yang telah disusun itu kemudian harus dikampanyekan kepada semua anggota partai agar mempunyai pemahaman yang sama. Model Lees-Marshment sangat berbeda dengan model Newman. Jika Newman menekankan pemasaran politik pada pentingnya segmentasi/targeting, positioning dan pencitraan, Lees-Marshment menekankan pada pembuatan produk (product development). 
Perbedaan ini terjadi karena di Amerika (model Newman), kandidat tidak mempunyai keleluasaan yang cukup dalam membuat produk politik, misalnya mengubah program dan platform partai. 
Sebaliknya, di Inggris produk (platform dan program partai) bisa terus-menerus berubah agar bisa terus menarik dan relevan bagi pemilih. Pemasaran politik karena itu terkait dengan upaya partai untuk menangkap keinginan pemilih dan kemudian menerjemahkan ke dalam produk yang diinginkan oleh pemilih.
-000- Bagaimana dengan di Indonesia? Apakah Indonesia lebih cocok mengadopsi model Newman (Amerika) ataukah Lees-Marshment (Inggris)? 
Dalam buku ini, Denny menawarkan model baru yang disebut sebagai model 10P. Tawaran model baru pemasaran politik oleh Denny ini menarik karena sistem pemilihan di Indonesia memang berbeda dengan Amerika atau Inggris sehingga tidak tepat jika mengadopsi mentah-mentah model dari Newman atau Lees-Marshment. 


Pertama, berbeda dengan di Inggris atau Amerika, Indonesia menganut sistem multipartai, ada banyak partai yang bertarung dalam pemilihan. 
Kedua, kandidat dan partai di Indonesia, punya posisi relatif setara. Berbeda dengan Amerika yang menekankan pada kandidat dan sistem Inggris yang menekankan pada partai, pemilihan di Indonesia menempatkan kandidat dan partai sama-sama pentingnya. 
Partai tidak boleh melupakan pentingnya kandidat, sebaliknya kandidat juga tidak bisa mengabaikan pentingnya partai. 
Ketiga, identifikasi partai di Indonesia relatif sedang-dalam banyak survei misalnya berada di kisaran angka 30-40 persen. Ini menjelaskan mengapa partai pemenang pemilu di Indonesia bisa berubah-ubah setiap pemilihan, dan munculnya split ticket voting, yakni pemilih memilih kandidat dari partai yang berbeda untuk pemilihan yang berbeda. 
Misalnya, untuk presiden memilih partai dari PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), sementara pemilihan gubernur memilih kandidat yang diusung oleh Gerindra. Dengan kompleksitas dan sistem yang berbeda tersebut, Denny kemudian menawarkan sebuah model baru pemasaran politik ala Indonesia. 
Jika diamati, model 10P yang diperkenalkan oleh Denny dalam buku ini merupakan gabungan antara model Newman dan Lees-Marshment. 
Dari Lees-Marshment, Denny mengambil pentingnya upaya untuk memahami keinginan pemilih (P2/Public Opinion; P3/Polling) dan menjadikan hasil dari riset pemilih untuk mendesain produk yang diinginkan oleh pemilih (P6/Product). 
Sementara dari Newman, Denny mengambil gagasan mengenai pentingnya upaya melakukan segmentasi (P4/Profiling) dan menempatkan posisi yang berbeda dengan kompetitor (P5/Positioning). 
Penggabungan gagasan Newman dan Lees-Marshment ini pilihan yang cerdik mengingat sistem pemilihan di Indonesia yang merupakan gabungan antara kandidat dan partai. 
Ini merupakan upaya Denny untuk menerjemahkan model pemasaran politik yang khas Indonesia. Upaya membuat model ala Indonesia ini juga diterjemahkan oleh Denny dengan menggabungkan pentingnya kampanye langsung (P7/Pull Marketing) dan kampanye dengan menggunakan media (P8/Push Marketing). 
Kampanye di Indonesia tidak boleh hanya menggunakan satu cara, keduanya (langsung dan lewat media) sama-sama penting.   Di samping mengadopsi konsep yang dikenal dalam literatur pemasaran politik, lewat model 10P ini, Denny juga memperkenalkan konsep baru, yakni inovasi terus-menerus (P1/Pro-Innovation) dan legasi politik sebagai tujuan dari pemasaran politik (P10/ Political Legacy). 
Menurut Denny, partai dan kandidat di Indonesia harus terus-menerus berusaha mencari cara-cara baru dalam memenangkan hati pemilih. 
Indonesia adalah negara yang terus berubah, misalnya ditandai oleh tumbuhnya kelas menengah dan makin pentingnya media sosial. Perubahan ini harus dicermati dengan merancang cara-cara pemasaran politik yang baru. 
Yang menarik, dalam buku ini, Denny juga menawarkan pandangan bahwa tujuan pemasaran politik tidak sebatas pada kemenangan partai atau kandidat. Lebih jauh dan lebih penting dari itu adalah partai atau kandidat itu ingin dikenang sebagai apa (legasi politik).
-000- Buku ini upaya untuk menggagas model pemasaran politik khas Indonesia. Apakah dengan menerapkan prinsip 10P seperti disajikan dalam buku ini, kandidat atau partai pasti akan memenangkan pemilihan? 
Perlu penelitian lebih lanjut untuk menguji keberlakuan dari model ini. Buku ini disajikan dengan gaya tulisan khas Denny seperti dalam banyak buku-bukunya yang lain, yakni konsep-konsep pemasaran politik disajikan dengan bahasa popular diselingi dengan kisah-kisah dan contoh. 
Cara penulisan seperti ini punya kelebihan sekaligus kelemahan. 
Kelebihan buku ini, karena disajikan secara popular bisa dibaca oleh setiap orang bahkan untuk pembaca yang tidak punya latar belakang politik, pemasaran atau komunikasi. 
Sementara kelemahan buku ini, karena disajikan secara popular, bobot “akademik” menjadi berkurang. Ini memang pilihan yang sulit, apakah buku ingin menjangkau sebanyak mungkin pembaca (popular) ataukah lebih mementingkan pembaca yang sempit (akademik). 
Tetapi karena buku ini ingin menawarkan model pemasaran politik ala Indonesia, perlu ada bahasan teoritis yang membandingkan model ini dengan model-model pemasaran politik lain yang dikenal dalam literatur pemasaran politik. 
Kelemahan lain dari buku ini, kurangnya bahasan mengenai “how to”, bagaimana menerjemahkan konsep-konsep 10P ini dalam praktik. Sub judul dalam buku ini “Teori dan Praktik”, belum banyak dibahas aspek “praktik”, yang bisa dijadikan panduan oleh partai atau kandidat. 
Membaca buku Denny JA ini, kita menelusuri berbagai konsep pemasaran politik yang kompleks disajikan secara sederhana dengan bahasa yang mengalir dan mudah dipahami. ***  -000-

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait