JAKARTA, Beritalima.com | Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menegaskan, tanpa peran dan keterlibatan kaum nasionalis, negara Indonesia yang dibangun dengan susah payah bisa ambruk. Demikian dinyatakan Moeldoko dalam Dialog Peradaban Bangsa Nasionalis, Islam, dan TNI yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Alumni GMNI di Jakarta, 22 Juli 2019.
Hadir sebagai narasumber selain Moeldoko antara lain adalah Ketua Umum Perhimpunan Alumni GMNI Ahmad Basarah, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PB Nahdlatul Ulama Helmy Faishal Zaini dan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti.
Mengambil tema “Siapa Melahirkan Republik Harus Berani Mengawalnya”, dalam dialog tersebut mantan Panglima TNI 2013-2015 itu menjelaskan bagaimana peran dan fungsi TNI sejak republik ini menyatakan kemerdekaannya, di mana kekuatan-kekuatan bersenjata yang dahulu tergabung dalam laskar-laskar kemudian diorganisasikan dan dikelola secara profesional.
“Kehadiran tentara melalui proses yang panjang. Tanggal 22 Agustus 1945, lahirlah Badan Keamanan Rakyat. Barulah pada tanggal 5 Oktober 1945 berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat. Pada saat itu sudah menyebut istilah tentara,” ujar Moeldoko. Di kemudian hari, tanggal 5 Oktober dirayakan sebagai Hari TNI.
Perubahan dan sejarah panjang tentara, papar Moeldoko, sudah dimulai sejak merdeka sampai dengan era reformasi, dan terus beradaptasi dengan perkembangan politik dan keamanan. Termasuk dalam geopolitik pada zaman masing-masing.
Moeldoko mengatakan, selain tentara, komponen lain yang juga menopang pendirian republik adalah kalangan nasionalis dan kalangan agamawan, terutama kelompok Islam. Ia menyebutnya sebagai tiga serangkai yang menjadi penjuru sekaligus pendobrak bagi lahirnya bangsa dan negara Indonesia.
Bagaimana dengan posisi kaum nasionalis? Moeldoko menegaskan, “Ini negara kalau nggak ada kaum nasionalis, bisa ambruk. Akan belok ke kanan dan ke kiri. Posisi nasionalis inilah yang membuat bangsa ini tetap bertahan di tengah-tengah.”
Moeldoko meyakini, tiga kekuatan utama, yakni tentara, kaum agamawan terutama Islam, dan kelompok nasionalis masih tetap eksis. Kolaborasi atas tiga komponen itulah yang akan membuat bangsa ini tetap bertahan.
Banyak negara gagal di tengah jalan, ketika sebuah bangsa bergerak dari sistem totaliter ke demokratis. Sebuah negara yang ingin bergeser menegakkan demokrasi atau menuju demokrasi, cenderung abai dalam hal stabilitas. Tapi negara yang masih bertahan dengan kekuatan militer juga bahaya ketika ingin mengubah pendulum ke sebuah negara demokratis.
Indonesia adalah contoh yang baik, ketika ada pergeseran dari sebuah sistem totaliter menuju sistem yang demokratis. “Ketika saya menjadi Panglima TNI, saya menyadari betul, bagaimana harus menjaga antara stabilitas dan tuntutan demokrasi,” katanya.