SURABAYA, Faktualnews.co-
Lebih dari 20 kali kecakup (tertangkap) oleh Satpol PP Kota Surabaya, tidak menyurutkan niat Iksan (36) untuk mencari nafkah dengan mengamen. Pria lajang yang biasa dipanggil Santos warga Jl. Dukuh Setro Surabaya ini mengatakan, terpaksa menekuni profesi itu meski bertolak belakang dengan petugas penegak perda Kota Surabaya.
Keturunan Cina yang telah menjadi mualaf ini sering menyanyikan lagu religi islami. Dia menjadi mualaf mulai tahun 1994 setelah bertemu Kyai Junaedi di salah satu pondok pesantren di Jember. “Sehari biasa dapat Rp 25 ribu hingga Rp 30 ribu”, ucap pengamen yang juga dipanggil Gus ini.
Setiap pagi pukul 08.00 WIB, ia berangkat berkeliling dari gang satu ke gang lainnya setelah sebelum minum kopi dan sarapan pagi, itu menjadi ritinitasnya setiap paginya.
Setelah mendapatkan hasil yang dirasa cukup Santos pulang pada pukul 17.00 WIB juga dengan berjalan kaki yang jarak tempuhnya hingga puluhan kilo meter.
Dia sering menyanyikan lagu religi dari rumah ke rumah, dan merasa tidak trauma meski jadi langganan Satpol PP untuk di tangakap dan dibawa ke Liponsos di Keputih Surabaya. “Sudah lebih dari 20 kali diciduk mas? tapi gimana lagi sudah jadi ritinitas”, jelasnya saat ditanya Faktualnews.co, Rabu (16/8/2017).
Santos juga mengatakan, dirinya pernah juga bekerja sebagai karyawan di toko bakwan, namun sayang toko tersebut gulung tikar. Setelah mencoba mencari pekerjaan lainnya nasib belum berpihak kepadanya.
“Pernah coba mau ikut kerja bangunan, tapi ya gak pernah ada yang ajak mas?”, katanya.
Hasil dari mengamen itu, selain untuk makan sehari-hari, oleh Santos juga diberikan kepada bapaknya yang sudah tua. Karena semenjak ibunya meninggal, dia tinggal serumah hanya dengan bapaknya, sementara jika dirinya ditangkap dan di bawa ke Liponsos selalu tetangganya yang mengurus surat-surat untuk kepulangannya dari rumah penampungan milik Dinas Sosial itu.
Teks : Santos, pengamen yang jadi mualaf setelah bertemu kyai di jember.
Reporter: Ekoyono