JAKARTA, Beritalima.com– Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI menolak rencana Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyediakan layanan vaksin berbayar.
Dalam kondisi darurat seperti sekarang, kata politisi senior PKS, Dr H Mulyanto, Pemerintah harusnya memberikan layanan gratis kepada semua masyarakat, bukan malah menambah beban mereka.
Hal itu dikatakan Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI menanggapi alasan Pemerintahan Jokowi menyediakan vaksin berbayar. Kebijakan itu sangat tidak rasional. Jika ingin mempercepat herd immunity harusnya Pemerintah memperbanyak titik layanan vaksinasi secara massif di puskesmas, klinik, kalau perlu di kantor-kantor kelurahan, RW dan posyandu.
Bukan dengan membuka layanan vaksin komersial buat sebagian masyarakat.
Soalnya, secara prinsip vaksinasi adalah tanggung-jawab pemerintah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darahnya. Pemerintah tidak boleh lepas dari tanggung-jawab itu.
“Jangan sampai masyarakat yang tidak mampu terpaksa harus membeli vaksin mandiri ini. Bansos yang Rp 300.000 /bulan/keluarga sangat tidak sebanding dengan harga vaksin Sinopharm yang lebih Rp 300.000 /dosis, apalagi kalau harus disuntik dua kali untuk dosis lengkap,” ungkap Mulyanto di Jakarta, Senin (12/7) menanggapi adanya vaksi berbayar yang disedikan Pemerintahan Jokowi.
Mulyanto juga khawatir setelah program vaksin berbayar dilaksanakan, kuota vaksin gratis bukannya ditingkatkan, tetapi perlahan-lahan berkurang. Padahal target sebaran vaksinasi sudah ditetapkan dan anggarannya sudah disiapkan.
Tambahan lagi, lanjut anggota Komisi VII DPR RI tersebut, kebijakan ini rentan dimanipulasi pencari keuntungan, dengan mengalihkan vaksin gratis menjadi vaksin berbayar. Akibatnya, vaksin gratis menjadi langka.
Karena itu daripada Pemerintah repot memikirkan sistem pengawasan distribusi vaksin gratis secara ketat, lebih baik kebijakan dualisme vaksin ini dibatalkan.
“Walaupun jenis vaksin antara program mandatori dan program mandiri berbeda, tetapi dalam prakteknya masyarakat tidak bisa melihat dan membedakan kedua jenis vaksin itu.
Modus itu sangat mungkin serta kerap terjadi untuk komoditas lain, khususnya barang subsidi, seperti gas melon 3 kg, pupuk subsidi atau BBM dimana komoditas subsidi dialihkan menjadi komoditas komersial.
“Ujung-ujungnya, karena vaksin gratis menjadi langka, rakyat terpaksa mengikuti vaksin berbayar. Ini kan bahaya. Akan merugikan rakyat,” tegas wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten tersebut.
Mulyanto menyarakan, Pemerintahan Jokowi fokus mempercepat riset dan produksi vaksin Merah Putih, yang dikembangkan Konsorsium Riset Covid di bawah koordinasi Badan Riset&Inovasi Nasional (BRIN), sebagai instrumen mencapai herd immunity masyarakat. Pemerintah jangan mengandalkan vaksin impor.
Mulyanto melihat, selama ini pemerintahan pimpinan Jokowi terkesan adem-adem dan membiarkan riset vaksin inovasi domestik ini berjalan bisnis as usual. Tidak seperti sikap pemerintah terhadap vaksin impor.
Padahal, ungkap Mulyanto, penggunaan vaksin Merah Putih penting sebagai upaya membangun keunggulan SDM dan kemampuan inovasi domestik.
Dengan demikian Indonesia tidak tergantung pada vaksin impor dan sekedar menjadi pasar bisnis vaksin semata. “Sayang anggaran dari utang yang terbatas ini terkuras habis untuk membeli puluhan juta vaksin impor,” kata Mulyanto.
Mulyanto mengaku prihatin karena saat ini dana untuk riset vaksin di LBM Eijkman tidak lebih dari Rp 10 miliar. Angka ini jauh dari memadai, apalagi kalau dibandingkan dengan dana untuk impor vaksin yang ratusan triliun rupiah.
Seharusnya Jokowi mengalokasikan dana riset yang cukup, sehingga vaksin Merah Putih dapat diproduksi lebih awal. Namun, nyatanya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII DPR RI dengan Konsorsium Riset Covid-19 terakhir dilaporkan, produksi Vaksin Merah Putih mundur, disebabkan BUMN Bio Farma tidak siap kalau vaksin itu didasarkan pada protein rekombinan mamalia.
Fasilitas produksi BUMN Bio Farma hanya siap kalau vaksin yang dikembangkan berbasis protein rekombinan ragi (yeast). Karenanya terpaksa LBM Eijkman harus banting setir mulai dari nol lagi untuk mengembangkan riset vaksin berbasis ragi.
”
Kalau poco-poco seperti ini terus, kita jadi pesimis. Sampai kapan Vaksin Merah Putih dapat diproduksi dan didistribusikan kepada masyarakat,” demikian Dr H Mulyanto.
(akhir)