JAKARTA, Beritalima.com– Politisi senior yang juga tokoh reformasi, Prof Dr Amien Rais dalam webinar peringatan 85 tahun Presiden Prof Dr Ing H Bacharuddin Jusuf Habibie yang digelar Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pekan ini mengungkapkan fenomena global yang disebut democratic back sliding menuju otoriter.
Bahkan sebelumnya senator dari dapil Provinsi DKI Jakarta yang juga pakar hukum Tata Negara dan Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof Dr Jimly Asshiddiqie menyebut, fenomena tersebut dengan istilah pembajakan demokrasi.
Menanggapi hal ini, Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI bidang Industri dan Pembangunan, Dr H Mulyanto mensinyalir Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memanfaatkan momen wabah pandemi virus Corona (Covid- 19) untuk memperkuat kekuasaan.
Pemerintah, kata Mulyanto yang juga wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten tersebut, acap kali berdalih untuk menanggulangi pandemi Covid 19 dalam menyusun berbagai peraturan dengan mereduksi peran DPR RI.
Anggota Komisi VII DPR RI yang juga anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tersebut menilai, Pemerintah harus selalu diingatkan kembali menghormati nilai-nilai demokrasi dalam penyelenggaraan negara. “Jangan sampai Pemerintah membajak demokrasi untuk memperbesar kekuasaan,” kata Mulyanto.
Dikatakan doktor nuklir lulusan Tokyo Institute of Technology (Tokodai), Jepang 1995 itu, kita merasakan pembajakan itu faktual. “Secara umum, saya setuju dengan pandangan Pak Amin Rais tentang democratic back sliding saat Pandemi Covid-19 ini,” ujar Mulyanto.
Politisi yang dipercaya sebagai Deputi Kelembagaan Iptek Kementerian Riset dan Teknologi 2013–2015 tersebut mengatakan, ada beberapa kasus yang dapat dijadikan contoh, salah satunya dalam kasus Perppu No: 1/2020 tentang Covid-19 yang kemudian disahkan menjadi UU No: 2/2020.
Dalam Perppu tersebut, kata Mulyanto, Pemerintahan Jokowi secara nyata mereduksi peran DPR RI terutama dalam fungsi anggaran. Alokasi prioritas anggaran, sesuai konstitusi yang semula dilaksanakan DPR RI dengan UU, diubah menjadi kewenangan eksekutif.
Dalam kasus UU Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker), kata Mulyanto yang juga pernah menjabat selaku Inspektorat Departemen Pertanian (Deptan) itu, atas nama penanggulangan ekonomi dampak wabah pandemi Covid-19, pembahasan RUU ngebut tidak kenal waktu libur dan reses. Meski pembahasan dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan, tetapi pelaksanaan rapat menjadi tidak maksimal dan penuh keterbatasan.
Sekarang, lanjut Mulyanto, muncul wacana Presiden tiga periode dan itu jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi. Sedangkan terkait vaksinasi, Pemerintahan Jokowi menjalankannya dengan pendekatan kekuasaan. dimana sanksi administratif dan denda menjadi alat memaksa warga untuk itu vaksinansi, ketimbang pendekatatn edukasi yang persuasive.
Pemerintah, kata Mulyanto, juga berencana membubarkan Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) dan Lembaga Penerbangan, Antariksa Nasional (Lapan), dua lembaga yang dibentuk masing-masing berdasarkan UU No: 10/1997 tentang Ketenaganukliran dan UU No: 21/2013 tentang Keantariksaan.
Peleburan kedua itu dalam Lembaga Pemerintah Non Kementerian Ristek (LPNK) ini hanya dengan secarik Peraturan Presiden, tanpa perubahan UU terkait. Padahal hal tersebut tidak ada urgensinya terkait dengan penanganan pandemi Covid-19.
Hal seperti ini, kata Mulyanto, harus disudahi. “Mari kita tanggulangi musibah Covid-19 ini dengan akal sehat, scientific based, tidak grasa-grusu. Berbagai kebaikan yang sudah ada di negeri ini, termasuk anugerah demokrasi, kita jaga dan kita rawat,” tandas Mulyanto.
Untuk diketahui, lanjut Mulyanto, dalam era Pemerintahan Jokowi, indeks demokrasi Indonesia turun dan menempati posisi terendah dalam kurun waktu 14 tahun terakhir.
The Economist Intelligence Unit (EIU) baru saja merilis Laporan Indeks Demokrasi 2020. Dalam laporan tersebut menunjukkan Norwegia meraih skor tertinggi yakni 9,81 dan menjadikannya negara dengan indeks demokrasi tertinggi di dunia.
“Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dengan skor 6.3. Meski dalam segi peringkat Indonesia masih tetap sama dengan tahun sebelumnya, tetapi skor tersebut menurun dari yang sebelumnya,” demikian Dr H Mulyanto. (akhir)