JAKARTA, Beritalima.com– Pemerintah dibawah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) perlu membuat terobosan guna meningkatkan realisasi target bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Tanpa ada terobosan, sulit buat Pemerintah mengejar target bauran EBT 23 persen pada 2025 seperti yang sudah dicanangkan.
Hal itu diungkapkan anggota Komisi VII DPR RI, Dr H Mulyanto kepada Beritalima.com di Jakarta, Kamis (24/9), terkait pengembangan EBT 23 persen yang ditargetkan di akhir masa Pemerintahan Presiden Jokowi. “Perlu ada terobosan dari Pemerintah untuk mencapai target itu,” jelas Mulyanto.
Untuk meningkatkan realisasi target EBT, Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bidang Industri dan Pembangunan itu menilai, tanpa insentif menarik, Pemerintah akan sulit mengejar target bauran EBT 23 persen.
“Kalau pendekatannya begini-begini saja, tampaknya sulit Pemerintah mewujudkan target yang ditetapkan. Perlu terobosan yang membuat penyedia energi alternatif tertarik, termasuk kesiapan PLN,” ujar Mulyanto.
Karena itu, Mulyanto berharap Pemerintah harus lebih berani membuat terobosan agar konsumsi listrik masyarakat beralih dari sebelumnya menggunakan energi fosil, seperti BBM dan batubara, menuju sumber energi yang lebih bersih, berkelanjutan dan berlimpah di Indonesia.
“Pengalihan juga harus tetap mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat,” ujar Mulyanto.
Untuk itu, wakil rakyat Dapil III Provinsi Banten ini berharap, pengaturan RUU EBT fokus kepada, bagaimana Pemerintah dapat mengembangkan sistem insentif dan disinsentif buat pembangunan sumber EBT dalam bauran energi listrik nasional.
Mulyanto melihat, harga energi alternarif ini menjadi isu sentral dalam pengembangan listrik bersumber EBT, apalagi ketika harga batubara dan Bahan Bakar Minyak (BBM) merosot tajam.
Kalau harga listrik EBT masih mahal, tidak bersaing dengan sumber energi fosil, tentu berat untuk mendorong peran masyarakat ikut berkontribusi penyediaan listrik EBT.
“Masyarakat pengguna listrik masih tertarik kepada energi yang murah dan terjangkau.
Memaksa PLN membeli listrik EBT tanpa kompensasi memadai juga akan membuat BUMN yang utangnya segunung ini bisa kolaps,” jelas anggota Panja Rancangan Undang-Undang (RUU) Omibus Law Cipta Kerja (Ciptaker).
Sebelumnya dikabarkan, Pemerintah berencana membuat Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pembelian Tenaga Listrik EBT oleh PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Perpres dibuat dengan tujuan agar harga listrik EBT ini lebih kompetitif. Namun sampai hari ini Perpres belum terbit juga.
Sebab itu, kata Mulyanto, RUU EBT yang merupakan RUU prioritas 2020 harus menitikberatkan kepada perlunya dukungan Pemerintah dalam aspek harga, kemudahan, termasuk soal kelembagaan dalam rangka mendorong pengembangan EBT di tanah air.
Untuk diketahui, RUU EBT yang tengah digodok DPR RI bersama dengan Pemerintah bertujuan menjamin ketahanan dan kemandirian energi nasional. DPR dan Pemerintah mendorong EBT ini secara bertahap dapat menjadi sumber energi utama masyarakat.
Dengan begitu, keberadaan EBT menjadi modal untuk pembangunan berkelanjutan yang mendukung perekonomian, mengembangkan, memperkuat posisi industri dan perdagangan Indonesia.
“Saat ini RUU EBT masih dalam tahap pengayaan substansial. Masih dalam tahap awal.
Komisi VII DPR RI berencana melaksanakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan berbagai pihak terkait, baik masyarakat profesi, industri, perguruan tinggi dan lain-lain. “Komisi VII ingin memperhatikan aspirasi masyarakat secara lebih komprehensif,” demikian Dr H Mulyanto. (akhir)