JAKARTA, Beritalima.com– Korupsi dan birokrasi Pemerintah yang tidak efesien menjadi penghabat utama dalam usaha menarik investasi di Indonesia, bukan masalah ketenagakerjaan atau desentralisasi perizinan yang ada di daerah.
Sebab itu, ungkap Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI, Dr H Mulyanto dalam keterangan kepada Beritalima,com di Jakarta, Rabu (12/8) pagi, solusi yang harus diambil Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah meningkatkan upaya pemberantasan korupsi dan membangun sistem pemerintahan yang efisien, transparan dan akuntabel.
“Bukan sekedar melalui pendekatan menerbitkan RUU Omnibus Law Ciptaker yang justru melemahkan jaminan sosial tenaga kerja serta kembali mendorong sistem yang sentralistik seperti yang terjadi masa Orde Baru.”
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI ini berpendapat, pasal-pasal dalam RUU Omnibus Law Ciptaker memperlemah perlindungan terhadap tenaga kerja dan menimbulkan ketimpangan yang pada gilirannya akan menurunkan produktivitas dan kesejahteraan tenaga kerja nasional.
“Pemerintahan Jokowi harus cermat mengidentifikasi akar masalah pengembangan investasi nasional. Masalahnya bukan pada regulasi perizinan dan pesangon tenaga kerja nasional tapi budaya korupsi yang merebak dalam birokrasi. Bank Dunia juga menyatakan demikian,” jelas Mulyanto.
Sebelumnya, Bank Dunia dalam laporan perekonomian Indonesia yang dirilis Juli 2020 dengan judul Indonesia Economic Prospects: The Long Road to Recovery, menilai terdapat beberapa klausul dalam RUU Omnibus Law Ciptaker yang berpotensi merugikan ekonomi Indonesia.
Secara umum, Bank Dunia berpendapat, kegiatan usaha yang selama ini terhambat oleh perizinan, sesungguhnya bukanlah dalam aspek regulasi, melainkan karena korupsi oknum dalam Pemerintahan dan rumitnya proses administrasi perizinan.
Penilaian yang sama juga disampaikan World Economic Forum (WEF). Secara regular, WEF melaksanakan survei opini para eksekutif dalam pertemuan tahunan mereka, yang meminta para eksekutif untuk memilih dan mengurutkan 5 dari 16 faktor yang paling menghambat investasi bisnis di Negara mereka.
Hasilnya, dalam GCR (Global Competitive Report) tahun 2018, WEF melaporkan faktor utama yang paling menghambat investasi bisnis di masing-masing negara. Untuk Indonesia, faktor utamanya korupsi, setelah itu faktor birokrasi pemerintah yang tidak efisien.
“Di Thailand faktor korupsi berada di urutan kelima. Di Malaysia menjadi faktor diurutan keenam. Sedang di Singapura, korupsi adalah faktor penghambat bisnis di urutan ke-16,” tegas anggota Komisi VII DPR RI tersebut.
Ditambahkan wakil rakyat Dapil III Provinsi Banten itu, sebenarnya Pemerintah sudah tahu kendala utama iklim investasi adalah karena masalah korupsi. Sebab berdasarkan pengukuran dari beberapa lembaga terlihat jelas hubungan positif antara upaya pemberantasan korupsi dengan perbaikan iklim investasi.
Hal ini terlihat dari naiknya skor Indeks Kemudahan Berbisnis (IKB) seiring dengan membaiknya Indeks Persepsi Korupsi (IPK). Dengan kata lain, jelas Mulyanto, salah satu faktor yang sangat berpotensi merusak “ekosistem” investasi adalah korupsi.
Negara yang tingkat korupsinya tinggi menyebabkan ketidakstabilan usaha, yang ujungnya investor sulit memprediksi secara akurat tingkat efisiensi investasi mereka. “Jadi, penyakit utama Investasi di Indonesia adalah korupsi. Bukan yang lain. Jadi, Pemerintahan Jokowi jangan salah obat,” demikian Dr H Mulyanto. (akhir)