JAKARTA, Beritalima.com– Anggota Komisi VII DPR RI, Dr H Mulyanto menilai lifting minyak mentah Indonesia 1 juta barel perhari (bph) yang ditetapkan Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) merupakan target sangat ambisius.
Malah Mulyanto mengangkap angka yang dibuat Pemerintah tidak realistis karena kurang memperhatikan kemampuan produksi selama ini. “Target lifting minyak dalam APBN kita dari tahun ke tahun terus melorot. Dua tahun lalu (2019) target lifting minyak Indonesia 775 bph. Turun menjadi 755 bph pada 2020. Kemudian kembali turun pada 2021 menjadi 705 bph.
Sementara realisasinya, setiap tahun tidak mencapai target APBN. Jadi, target lifting minyak 1 juta bph pada 2030 memang target yang sangat ambisius, apalagi ketika kita memasuki pandemi Covid-19,” kata Mulyanto saat Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR RI dengan Ketua Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) di Jakarta, pertengahan pekan ini.
Menurut dia, Pemerintahan Jokowi tak perku malu untuk menghitung ulang besaran target itu agar lebih realistis dan achievable. Jika memang Pemerintah ingin bertahan pada target besar itu, Pemerintah harus kerja keras untuk dapat merealisasikannya sesuai waktu yang ditentukan yaitu 2030.
“Pemerintah jangan malu untuk menurunkan target lifting menjadi lebih realistis dan achievable. Sebab, sampai hari ini beberapa indikator terkait lifting minyak tersebut masih memperlihatkan tanda-tanda yang kurang menggembirakan,” kata dia.
Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI bidang Industri dan Pembangunan itu juga mengingatkan, per bulan Agustus 2021 ini akan dilakukan alih kelola Blok Rokan dari Chevron ke Pertamina. Blok Rokan merupakan ladang eksploitasi migas terbesar kedua setelah Blok Cepu.
Berdasarkan pengalaman alih kelola sumur migas tua, seperti Blok Mahakam, biasanya produksi minyak mengalami penurunan. Dengan demikian Pemerintahan Jokowi perlu memikirkan cara untuk bisa mewujudkan target tersebut.
“Jika Pemerintah tidak mengoptimalkan investasi di Blok Rokan, resiko turunnya lifting minyak di blok tersebut adalah suatu keniscayaan. Dan hal ini akan berpengaruh terhadap realisasi target lifting minyak secara nasional,” tegas Mulyanto.
Faktor lain yang disorot wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten tersebut terkait target lifting adalah soal investasi migas yang masih minim. Dari laporan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) tentang nilai investasi migas 2020 memperlihatkan terjadinya penurunan dibandingkan tahun sebelumnya.
Menurut Menteri ESDM, Arifin Tasrif, sepanjang 2020, realisasi investasi sektor ESDM yang didominasi sektor migas, mencapai angka 24,4 miliar USD. Padahal 2019, realisasi investasi ini mencapai 33,2 miliar USD, atau anjlok 26,5 persen year on year (yoy).
Karena itu, boleh dikatakan kinerja investasi migas 2020 adalah capaian terburuk dalam 10 tahun terakhir. Padahal untuk mencapai target lifting minyak 1 juta bph memerlukan giant discovery melalui eksplorasi yang massif dengan giant investment. “Kalau investasi di sektor ini melorot maka mana mungkin target lifting itu bisa tercapai,” kata Mulyanto.
Hal lain menurut Mulyanto perlu dibenahi Pemerintahan Jokowi dalam merealisasikan target lifting minyak 1 juta bph pada 2030, pembentukan lembaga khusus yang bertanggungjawab dalam urusan hulu migas.
“Karena kelembagaan hulu migas yang ada, yakni SKK Migas bersifat sementara, yakni hanya berupa satuan kerja di bawah Kementerian ESDM. Diperlukan revisi UU Migas untuk mengakomodasi keputusan MK yang membatalkan Badan Pelaksana Hulu Migas,” kata dia.
Untuk itu, perlu kelembagaan hulu migas yang kuat dan efektif dalam menjalankan pengelolaan dan pengusahaan hulu migas nasional. “Tidak cukup lembaga sementara seperti SKK Migas, yang tidak memiliki otoritas bagi pengusahaan hulu migas untuk dapat mewujudkan target ambisius lifting minyak 1 juta bph pada 2030,” demikian Dr H Mulyanto. (akhir)