JAKARTA, Beritalima.com– Politisi senior di komisi yang membidangi Energi Sunber Daya Mineral (ESDM), Ilmu Pengetahuan&Teknologi (Iptek) serta Lingkungan Hidup (PH), Dr H Mulyanto meminta Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengoptimalkan pengolahan nikel sebelum diekspor ke berbagai negara.
Soalnya, papar Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI bidang Industri dan Pembangunan tersebut kepada Beritalima.com, Selasa (8/12) petang, jika pengolahannya hanya pada tahap proses smelter dan menghasilkan bahan baku setengah jadi, nilai tambah yang dihasilkan tentu saja sedikit.
Anggota Komisi VII DPR RI ini menambahkan, Pemerintahan Jokowi harus punya peta jalan (road map) pengembangan pengolahan nikel yang terarah. Jangan sampai material tambang yang tengah naik daun tersebut diekspor dalam kondisi setengah jadi. Sebab kalau kebijakan itu terus berlangsung, manfaatnya bagi negara tidak optimal.
“Ini namanya hilirisasi ‘setengah hati’ atau menghasilkan produk bahan baku setengah jadi dengan nilai tambah sedikit. Ke depan kita perlu untuk mengembangkan hilirisasi penuh yaitu industrialisasi yang memproduksi barang jadi dengan nilai tambah tinggi, produk teknologi berbasis nikel, semacam industri baterai listrik, mobil listrik dan lain-lain.”
Kalau model seperti sekarang, sebagaimana disinyalir para pengamat ekonomi, secara jangka pendek pemerintah banyak ruginya, mulai dari pelarangan ekspor nikel mentah yang berarti penerimaan Negara dari biaya ekspor hilang, keringanan pajak dan berbagai kemudahan lain bagi pengusaha smelter serta ekspor barang setengah jadi dengan nilai tambah sedikit,
“Jadi, ini lebih terkesan sebagai subsidi kepada ‘buyer’ yang banyak menikmati keuntungan adalah pembeli. Multiflyer effect dari hilirisasi setengah hati ini sangat terbatas,” kata pemegang gelar doktor nuklir lulusan Tokyo Institute of Technology (Tokodai), Jepang . Tahun: 1995 ini.
Terkait hal tersebut, Mulyanto mengingatkan peran penting lembaga riset dan inovasi serta Kementerian ESDM untuk memikirkan beragam kreativitas pengolahan nikel sehingga pengolahan nikel bukan sekedar hilirisasi ‘setengah hati’ tetapi hilirisasi penuh memproduk barang jadi dengan nilai tambah tinggi dan multiflyer effect luas, produk teknologi berbasis nikel.
“Indonesia perlu fokus untuk mengelola komoditas tambang nikel dari hulu hingga hilir secara maksimal. Karena komoditas ini dapat menjadi primadona dan pusat gravitasi pertumbuhan ekonomi ke depan. Karena itu, Pemerintah jangan hanya berhenti dan menikmati pada produk bahan baku setengah jadi untuk ekspor. Karena produk setengah jadi tersebut nilai tambahnya tidak seberapa.”
Dengan kandungan nikel dalam baterai listrik yang dominan dan demand nikel yang terus naik, kata wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten ini, dengan cadangan tambang nikel yang nomor satu di dunia, Indonesia bisa menjadi negara pengambil manfaat besar dari pengelolaan dan pengusahaan tambang nikel.
Seperti diketahui, Indonesia merupakan negara dengan cadangan bijih nikel terbesar di dunia. Sekitar 32,7 persen cadangan nikel dunia ada di Indonesia. Australia berada di urutan setelah Indonesia, yang memiliki 21,5 persen cadangan nikel dunia, menyusul Brazil dengan cadangan bijih nikel 12,4 persen.
Kemudian Rusia, Kuba, Philipina dan Afrika Selatan.
Demi menjaga ketahanan cadangan mineral ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan larangan ekspor bijih nikel dengan kadar 1,7 persen. Kebijakan ini mulai diberlakukan per Januari 2019. Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai produsen nikel terbesar dunia.
Tahun lalu, produksi nikel dunia mencapai 2,6 juta ton, sementara produksi nikel Indonesia mencapai 800 ribu ton. Sementara di posisi kedua dan ketiga ditempati Philipina dan Rusia dengan produksi masing-masing 420 ribu ton dan 270 ribu ton. (akhir)