JAKARTA, Beritalima.com– Anggota Komisi VII DPR RI, Dr H Mulyanto meminta Pemerintah dalam hal ini Dirjen Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) melakukan pemeriksaan terhadap laporan masyarakat terkait banyaknya Tenaga Kerja Asing (TKA) khususnya dari China dengan kualifikasi tidak memadai bekerja pada perusahaan nikel di Sulawesi Tenggara.
Berdasarkan laporan dan aspirasi masyarakat yang diterima Mulyanto, banyak TKA di pertambangan nikel di Sulawesi Tenggara ditengarai tidak memiliki kualifikasi memadai. “Ini tentu menjadi persoalan dan harus segera ditindaklanjuti Pemerintah,” kata Mulyanto.
Bila laporan dan aspirasi masyarakat ini tidak ditindaklanjuti, ungkap wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten tersebut, tentu saja dapat menimbukan keresahan masyarakat. Pemerintah jangan sungkan mengambil tindakan tegas, karena perbuatan tersebut jelas merugikan Indonesia dari aspek ketenagakerjaan maupun pajak.
“Pemerintah cq. Dirjen Minerba harus memastikan tenaga kerja asing pada industri smelter nikel memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan, baik dari segi keahlian maupun dokumen keimigrasian yang dibawa,” kata Mulyanto saat Rapat Panitia Kerja (Panja) Minerba Komisi VII DPR RI dengan jajaran Kementerian ESDM di Gedung Nusantara I Komplek Parlemen Senayan, Jarkarta, pekan ini.
“Masak TKA yang datang pada industri smelter ini berkualifikasi pekerja kasar dan dengan visa kunjungan. Kalau ini benar, kan merugikan bangsa Indonesia. Pemerintah harus memastikan soal ini agar tidak menjadi isu liar di tengah masyarakat,” kata Mulyanto.
Pada kesempatan itu, Mulyanto juga mengusulkan kepada Ketua Komisi VII DPR RI agar isu kualifikasi TKA ini dijadikan fokus pembahasan saat kunjungan spesifik (kunsfik) Komisi VII ke industri smelter dalam waktu dekat.
Selain soal TKA, Mulyanto juga mendesak Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk terus mengevaluasi pelaksanaan program hilirisasi nikel. Jangan sampai nilai tambah dan efek pengganda (multiflyer effect) yang konkret dari program tersebut jauh dari apa yang dijanjikan ke Pemerintah.
Hal ini dapat mengecewakan masyarakat, apalagi setelah ada larangan ekspor bijih nikel dan soal harga jual bijih nikel pada industri smelter, yang sempat bermasalah. Hilirisasi nikel ini bagus, agar kita tidak mengekspor bahan mentah, tetapi bahan jadi dengan nilai tambah tinggi. Dengan demikian, penerimaan negara akan meningkat.
Selain itu, pengoperasian industri smelter akan menyerap banyak tenaga kerja lokal dan manfaat sosial-ekonomi lainnya. “Kalau prakteknya produk yang dihasilkan hanyalah nikel setengah jadi dengan nilai tambah rendah serta maraknya TKA berkualifikasi kasar. Tentu ini akan mengecewakan kita. Ini tidak sesuai dengan harapan,” ketus Mulyanto.
Untuk diketahui 80 persen yang dihasilkan industri smelter nasional adalah bahan setengah jadi feronikel yang berkadar rendah. Hanya 20 persen hasilnya berupa Stainless Steel (SS).
Karena itu, nilai tambah industri smelter tersebut hanya mencapai 3-4 kali dari bahan mentahnya. Tidak 19 kali sebagaimana dijanjikan Pemerintah bila yang dihasilkan adalah bahan jadi hasil fabrikasi siap pakai.
Nikel setengah jadi inilah yang diekspor ke perusahaan induk untuk diolah menjadi barang jadi. Tidak heran kalau beberapa pihak menduga praktek program hilirisasi ini lebih menguntungakn pihak asing karena mereka mendapatkan jaminan pasokan konsentrat nikel dengan harga murahi.
Padahal, Pemerintah melarang masyarakat mengekspor nikel mental yang harganya tinggi di luar. “Karenanya, pemerintah harus dengan sungguh-sungguh mengevaluasi, memperbaiki dan meningkatkan program hilirisasi ini.” demikian Dr H Mulyanto. (akhir)