JAKARTA, Beritalima.com– Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No: 1/2020 tentang Penanggulangan virus Corona (Covid-19) dan Penyelamatan Sistem Keuangan Nasional yang ditanda tangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa hari lalu dapat menghilangan fungsi anggaran yang menjadi salah satu hak DPR RI.
Penilaian tersebut dikemukakan Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI bidang Industri dan Pembangunan, Dr H Mulyanto dalam keterangan tertulis melalui WhatsApp (WA) kepada Beritalima.com, Sabtu (4/4).
Dikatakan anggota Komisi VII DPR RI membidangi Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Ilmu Pengetahuan Teknologi (Iptek) dan Lingkungan Hidup (LH) tersebut, Perppu No. 1/2020 tentang Penanggulangan Covid 19 dan Penyelamatan Sistem Keuangan memberikan kewenangan terlalu besar kepada Presiden.
Salah satu yang disoroti wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten tersebut adalah soal kewenangan Presiden mengatur jumlah dan alokasi anggaran negara secara mandiri yang termaktub dalam Pasal 2, ayat 1, butir b, c dan d.
Dalam Pasal tersebut, Pemerintah diberi kewenangan untuk melakukan penyesuaian besaran belanja wajib (mandatory spending), melakukan pergeseran anggaran antar-unit organisasi, antar-fungsi dan/atau antar-program serta melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), yang anggaran pembiayaannya belum tersedia atau tidak cukup, menentukan proses serta metode pengadaan barang dan jasa.
Menurut laki-laki bergelar Doktor Nuklir lulusan Tokyo Institute Technology (Tokodai) Jepang itu, kewenangan yang besar berpotensi menghilangkan fungsi anggaran DPR yang sudah ditetapkan konstitusi. Jika Perppu itu disetujui dan disahkan sebagai Undang-Undang, DPR secara praktis tidak lagi memiliki kewenangan fungsi anggaran.
Hal ini berpotensi terjadinya penyalagunaan wewenang (abuse of power) dalam mengelola anggaran yang jumlahnya sangat besar. Apalagi pada pasal lain dalam Perppu ini ditetapkan agar para pihak yang terlibat dalam upaya penanggulangan Covid-19 dan penyelamatan sistem ekonomi nasional dibebaskan dari tindak pidana dan perdata.
Itu sebabnya politisi senior tersebut menegaskan Fraksi PKS di DPR akan mengkritisi Perppu secara objektif. “Kami paham dalam suasana darurat seperti ini Pemerintah perlu kerja cepat dan fleksibel. Namun, kami juga ingin anggaran besar yang nota bene adalah uang rakyat tersebut dikelola secara optimal, transparan dan dapat diawasi. Jangan sampai beleid ini dimanfaatkan pihak-pihak tertentu yang ingin mencari keuntungan,” ujar Mulyanto.
Mantan Inspektur Jenderal bidang Pengawasan Kementerian Pertanian ini juga menyoroti ketiadaannya batas maksimal relaksasi defisit anggaran. UU Keuangan Negara menententukan bahwa batas maksimal defisit anggaran 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dalam Perppu yang ditanda tangani Jokowi itu, Pemerintah diberi izin melampaui batas defisit anggaran 3 persen tanpa disertai batas maksimal yang dapat ditoleransi.
“Tak jelas Perppu tersebut relaksasi defisit anggaran yang diperkenankan. Apakah 5 persen, 6 persen atau tidak terhingga. Ini sepertinya memberikan cek kosong atas ruang fiskal yang mengarah kepada tambahan utang,” jelas Mulyanto.
Mantan Sekretaris Kementerian Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) ini juga heran karena dalam Perppu itu tidak disebut secara tegas besaran anggaran tambahan untuk penanggulangan Covid-19. Dari sekian pasal, tidak ada satupun yang menyebut besaran persentase anggaran untuk penanggulangan Covid-19 yang disediakan dalam APBN.
Padahal lanjut pencetus gerakkan dan sukses menerapkan program pencegahan korupsi di Kementan yang diberi nama Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) ini, angka itu penting untuk ditetapkan agar setiap pihak bisa mengawasi aliran penggunaan anggaran yang disediakan. “Kami juga tidak melihat ada pasal yang menjelaskan sampai kapan aturan khusus perencanaan, penetapan dan pengelolaan anggaran diberlakukan.
Sebab, sekali Perppu disahkan, hal tersebut akan berlaku terus hingga ada Undang-Undang baru yang membatalkan. Menurut logika saya, harusnya berlaku untuk 2020 saja. Jadi, serupa dengan UU APBN-Perubahan,” demikian Dr H Mulyanto M.Eng. (akhir)