JAKARTA, Beritalima.com– Penggabungan Kementerian Riset&Teknologi (Kemristek) dengan Kementerian Pendidikan&Kebudayaan (Kemendikbud) yang dilakukan Pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) dikhawatirkan berdampak mengecilnya aktivitas riset sebagai penggerak pembangunan inovasi nasional.
Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI bidang Industri dan Pembangunan, Dr H Mulyanto di Jakarta, akhir pekan ini mengatakan,
penempatan fungsi ristek di Kemendikbud merupakan langkah mundur (set back) karena dapat menjadikan riset sebagai kegiatan akademik semata, bukan sarana meningkatkan daya saing inovasi nasional.
Padahal, kata anggota Komisi VII DPR RI membidangi Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Ilmu Pengetahuan dan Teklogi (Iptek) serta Lingkungan Hidup (LH) itu, garda terdepan pengembangan inovasi nasional adalah industri bukan lembaga litbang. Litbang, baik lembaga riset kementerian teknis, LPNK Ristek, maupun Perguruan Tinggi adalah lembaga penunjang.
Dikatakan doktor nuklir lulusan Tokyo Institute of Technology (Tokodai), Jepang 1995 tersebut, lembaga litbang adalah penghasil pengetahuan (invensi), sementara industri adalah pengguna pengetahuan untuk diubah melalui proses kreatif menjadi produk barang atau jasa inovasi.
“Dengan penggabungan Kemenristek dalam Kemendikbud, dikhawatirkan bakal semakin jauh hilirisasi hasil riset menjadi produk barang atau jasa inovasi, karena beban Kemendikbud sangat besar muluai dari urusan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), ijazah palsu, Perguruan Tinggi abal-abal sampai kepada plagiarisme.
Karena itu, kata Mulyanto, Fraksi PKS dengan menolak penggabungan kedua Kementerian ini, apalagi sisa Pemerintahan Jokowi tinggal 2-3 tahun lagi. Padahal untuk adaptasi teknis organisasi saja memerlukan waktu 2-3 tahun, belum lagi proses adaptasi budaya.
Dalam diskusi online bertema Masa Depan Iptek Indonesia Pasca-Likuidasi Kemenristek yang dilaksanakan Center for Indonesian Reform (CIR), Sabtu (17/4), Mulyanto mengatakan, Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) dan Lembaga Antariksa Nasional (Lapan) adalah dua Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) yang dibentuk berbasis UU yakni UU No: 10/1997 tentang Ketenagnukliran dan UU No: 21/2013 tentang Keantariksaan. Karena itu LPNK ini tidak dapat dilebur ke dalam BRIN. “Itu menyalahi UU,” kata Mulyanto.
Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (UI), Eko Prasodjo mengatakan, dari filosofi dan ukuran tak tepat menggabungkan Kemenristek ke dalam Kemendikbud.
Menurut Eko, filosofi Kemenristek dan Kemendikbud tidak nyambung. Kemendikbud fokus pada pengembangan SDM, mulai PAUD hingga Perguruan Tinggi, sementara Kemenristek fokus pada pengembangan inovasi dalam industri. “Dari segi ukuran, Kemendikbud sudah sangat besar. Karena itu, sulit untuk menjalankan tugas terkait Ristek, yang sangat rumit,” tegas Eko.
Ditambahkan, dalam UU No: 11/2019 tentang Sinas Iptek tidak ada Menteri yang bertanggung jawab untuk menjalankan UU itu. Dalam UU No: 18/2002 ada pengaturan tentang Menteri yang bertanggung jawab, sebagaimana disebutkan dalam Ketentuan Umum, Menteri bertanggung jawab dalam urusan riset dan teknologi. Padahal UU No: 11/2019 ini menggantikan UU No: 18/2002 tentang Sinas Iptek, sehingga praktis UU No: 18/2002 tidak berlaku lagi.
“Ini sebuah kesengajaan untuk meniadakan Menteri yang bertanggung jawab dalam urusan riset dan teknologi atau hanya sekedar ketelingsut,” tanya Wakil Menteri Penertiban Aparatur Negara Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB 2011-2014 rsebut. (akhir)