JAKARTA, Beritalima.com– Penggabungan Kementerian Riset&Teknologi (Kemenristek) ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dikhawatirkan akan mengganggu kelancaran program Vaksin Merah Putih.
Sebab itu, anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Dr H Mulyanto mendesak Pemerintah Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengkonsolidasikan Konsorsium Riset Covid-19, yang di bawah koordinasi Menristek/Kepala BRIN, agar penggabungan lembaga itu tidak membuat program riset Vaksin Merah Putih terlambat.
Menurut Mulyanto, pembentukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang 17 bulan tidak kunjung usai, ditambah dengan penggabungan Kemenristek ke dalam Kemendikbud membawa konsekuensi hilangnya legalitas Menristek/Kapela BRIN sebagai koordinator Konsorsium Riset Covid-19 dan tidak jelasnya status kelembagaan konsorsium riset ini. “Jadi tak heran jika Direktur LBM Eijkman yang menjadi motor pengembangan vaksin Merah Putih kebingungan.”
Ditambahkan sebagai Negara berdaulat, produksi dan penggunaan vaksin Merah Putih menjadi penting agar Indonesia tidak tergantung pada vaksin impor dan menjadi sekedar pasar bisnis vaksin semata. Selain itu juga kita tidak ingin, uang kita yang terbatas dari utang ini terkuras habis untuk membeli vaksin impor.
“Karena itu, sangat penting kalau kita menggesa riset dan produksi vaksin Merah Putih ini agar vaksin domestik dapat segera digunakan bagi pemulihan pandemi Covid-19,” kata Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI bidang Industri dan Pembangunan tersebut.
Wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten ini mengatakan, sebagaimana disampaikan Menristek/Kaela BRIN saat Raker dengan Komisi VII DPR RI, target produksi vaksin adalah awal 2022. Karena itu, Mulyanto berharap target itu tidak mundur. “Jangan sampai terlambat, diproduksi pada saat pasar vaksin sudah jenuh oleh vaksin impor melalui program mandatory yang dibiayai Pemerintah,” kata dia.
Mulyanto menyayangkan pasar domestik yang besar ini dinikmati berbagai produk impor yang menyedot devisa Negara melalui program mandatory.
Menurut dia, perlu intervensi Negara untuk mendorong riset dan produksi vaksin Merah Putih sehingga bangsa ini tidak sekedar menjadi Negara pengguna dan pembeli.
Mulyanto menegaskan Indonesia juga mampu menjadi negara pembuat vaksin yang berbasis keunggulan para inovator nasional. SDM dan lembaga riset kita andal. Jadi, jangan sampai manajemen kelembagaan Negara, bukannya mempercepat, malah menghambat proses kreatif anak bangsa tersebut.
“Juga akan menjadi janggal, kalau vaksin impor dibeli Pemerintah dengan uang negara untuk program vaksinasi mandatori, vaksin domestik karya anak bangsa, karena terlambat masuk pasar, terpaksa ikut dalam skema program vaksinasi mandiri, yang bersifat sukarela,” imbuh Mulyanto.
Seperti diketahui, ada 11 platform riset vaksin Merah Putih yang dijalankan enam lembaga riset Pemerintah dan Perguruan Tinggi, yakni LBM Eijkman, LIPI, UI, ITB, Unair dan UGM. Yang tercepat, LBM Eijkman menjadwakan uji klinis tahap 1-3 bersama BUMN Bio Farma Juli-Desember 2021 dan target memperoleh izin BPOM dan diproduksi massal pada Januari 2022.
LBM Eijkman adalah lembaga riset dalam struktur organik Kemenristek dan menjadi anggota Konsorsium Riset Covid-19 yang dikoordinasikan Kemenristek. Dengan penggabungan Kemenristek ke dalam Kemendikbud, maka status kelembagaan LBM Eijkman, seperti juga status Kelembagaan Konsorsium Riset Covid-19 menjadi tidak jelas. (akhir)