SURABAYA, Beritalima.com|
Pemerintah menetapkan kebijakan untuk meleburkan 39 lembaga riset ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Salah satu yang paling disoroti adalah masuknya Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman di salah satu dari 39 lembaga riset tersebut. Hal ini tak pelak memicu kontra dari berbagai pihak. Tak tanggung-tanggung, para akademisi melayangkan petisi kepada presiden terkait penolakan keputusan ini.
“Saya kira itu (petisi, Red) bagus menurut saya agar BRIN lebih hati-hati dalam restrukturisasi atau apapun yang bertujuan untuk membuat kelembagaan itu menjadi lebih baik,” ungkap Dr. Falih Suaedi, Drs., M.Si.
Ia memaparkan bahwa kebijakan pemerintah itu sebenarnya baik di mana hal ini akan lebih banyak mengatur aspek kelembagaan.
Dr. Falih menambahkan, peleburan ini bertujuan agar LBM Eijkman menjadi lebih definitif seperti halnya LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) yang telah berada di bawah koordinasi BRIN. Kebijakan itu turut menjadikan LBM Eijkman berubah nama menjadi Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) Eijkman.
Namun, proses peleburan itu membawa konsekuensi bagi aspek sumber daya manusia yang dalam hal ini adalah para periset. Konsekuensi dari peleburan itu adalah para periset harus masuk dalam skema Aparatur Sipil Negara (ASN).
“Periset itu beda dengan ASN, ya. Periset itu kan membutuhkan satu mekanisme yang lebih baik tidak dibebani pada hal-hal yang terlalu birokratis,” ujar Dr. Falih.
Dr. Falih menyayangkan lima opsi yang diberikan oleh pemerintah bagi para periset LBM Eijkman salah satunya adalah status honorer nonperiset yang nantinya akan diambil alih oleh Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
“Ini kan berarti (LBM Eijkman, Red) sebagai tim besar sudah pincang,” tegasnya.
“Jadi, ‘rumahnya’ saja didekatkan tetapi ekosistem periset ini dipertahankan supaya tetap bisa bekerja dengan baik. Sebetulnya, biarkan saja mereka tetep jalan. Nanti, bisa ditata pelan-pelan step by step,” ungkap Dr. Falih.
Dosen Departemen Administrasi Publik FISIP UNAIR itu berpendapat bahwa sebaiknya kelima opsi bisa disederhanakan kembali dengan kewenangan dari pemerintah, seperti halnya para pemeriksa di KPK yang akhirnya dapat diterima di POLRI dengan lebih simpel.
“Biarkan aturan mainnya di BRIN tetap jalan dan kalau perlu pemerintah mengeluarkan diskresi di beberapa bagian biar penelitinya ini bisa terus berkarya,” jelas Dr. Falih.
Adanya diskresi, lanjutnya, akan menjadikan para peneliti merasa nyaman serta tidak terpengaruh dengan kebijakan peleburan tersebut.
“Mau masuk di dalam koordinasi BRIN silakan saja. Namun, ritme ekosistem yang sudah terbangun sebagai lembaga peneliti handal dan punya reputasi internasional itu jangan terlalu banyak diintervensi,” ungkapnya.
Terakhir, ia menyarankan agar kedepannya pelaksanaan kebijakan seperti ini harus dilakukan dengan bijak.
“Mestinya, di dalam melaksanakan kebijakan terutama hal-hal yang nonfisik seperti periset ini harus dilakukan dengan arif bijaksana,” pungkas Dr. Falih. (Yul)