Mundur Dari Demokrat versi KLB, Pengamat: Moeldoko Bakal Dikenang Penyelamat Demokrasi

  • Whatsapp

JAKARTA, Beritalima.com– Sebulan terakhir nama Jenderal Purnawirawan TNI Moeldoko menghiasi media massa di tanah air. Soalnya, mantan orang nomor satu di jajaran TNI yang saat ini masih menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP) didaulat menjadi Ketua Umum Partai Demokrat pada Kongres Luar Biasa (KLB) illegal di Deli Serdang, Sumatera Utara.

Jabatan tersebut memang menggiurkan bagi orang yang terobsesi menjadi pemimpin. Dengan menjadi ketua umum partai politik (parpol), apalagi memiliki kursi di parlemen, peluang dia menjadi calon presiden (capres) atau calon wakil presiden (cawapres) lebih terbuka.

Namun, di negara demokrasi seperti Indonesia saat ini, untuk menjadi ketua umum parpol tentu ada aturannya, seperti UU Partai Politik dan AD/ART. Kalau hal ini dipenuhi, jabatan ketua umum akan diperoleh secara terhormat. Namun, bila aturan itu diterabas atau diakal-akali, ketua umum parpol diperoleh dengan cara hukum rimba. Siapa yang kuat dialah yang menang. Manusia seperti ini tentu sangat tercela di depan publik.

Cara-cara begitu, papar pengamat politik Universitas Esa Unggul Jakarta, Muhammad Jamiludin Ritonga saat bincang-bincang dengan Beritalima.com di Jakarta, Jumat (19/3) seharusnya berlaku di negara yang otoroter.

Di negara otoroter, kata laki-laki yang akrab disapa Jamil tersebut, ketua umum diperoleh dengan segala rekayasa yang disokong kekuasaan serta uang. Cara-cara licik dan tidak kesatria dipertontonkan secara kasat mata. Apapun akan dihalalkan untuk menggapai ketua umum suatu parpol.

Tentu, kata Jamil, Moeldoko bukanlah sosok seperti itu. Sebagai mantan Panglima TNI, sudah pasti jiwa patriotik dan kesatria sudah mendarah daging dalam dirinya. “Seorang patriotik dan kesatria dengan sendirinya akab menjunjung tinggi etika dan harga diri. Hal ini sudah menjadi prinsif hidup yang tidak bisa ditawar lagi,” jelas dia.

Saya percaya, ungkap penulis buku ‘Perang Bush Memburu Osama’ yang sempat cetak ulang tersebut, Moeldoko masih memegang teguh semua itu dan menjadikannya sebagai pedoman dalam hidup, bersikap serta berperilaku, termasuk dalam memutuskan patut tidaknya jabatan ketua umum diterima atau ditolak. Berbekal prinsif itu, Moeldoko harus berpikir jernih dalam menilai illegal tidaknya pelaksanaan KLB di Deli Serdang.

Sebagaimana sudah dikemukakan para ahli hukum dan pengamat politik, KLB tersebut sulit untuk dikatakan tidak ilegal. Atas dasar itu, sebagai purnawirawan dengan sosok berjiwa patriotik dan kesatria, tentu Moeldoko akan sulit menerima hasil KLB ini.

Karena itu, kata Jamil, sungguh elegan bila Moeldoko menarik diri dari jabatannya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat hasil dari KLB di Deli Serdang. Hal itu layak dilakukan Moeldoko sebagai wujud harga diri yang menjunjung tinggi etika.

Tentu saja Moeldoko juga bakal dikenang sebagai sosok yang menjaga dan melindungi demokrasi di Indonesia atau sosok anak bangsa yang mengutamakan etika daripada jabatan Ketua Umum Partai Demokrat.

“Mundurnya Moeldoko dari ketua umum, juga akan memupus prasangka buruk terhadap Presiden Jokowi. Suka tidak suka, selama ini ada penilaian bahwa penguasa berada dibalik prahara di Partai Demokrat,” jelas dia.

Penilaian negatif semakin menguat karena Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak pernah mau berkomentar tentang KLB Deli Serdang. Padahal orang mengetahui, Moeldoko komandan adalah KSP yang menjadi tangan kanan presiden dalan menjalankan roda pemerintahan.

“Jadi, bila Moeldoko mundur, selain dapat menjaga integritasnya yang patriotik dan kesatria, juga akan memulihkan nama Pesiden Jokowi yang terseret-seret dalam kasus KLB Deli Serdang,” demikian Muhammad Jamiludin Ritonga. (akhir)

 

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait