Pemerintah saat ini telah menetapkan 5 (lima destinasi) super prioritas, yaitu : Danau Toba, Borobudur, Labuan Bajo, Mandalika dan Likupang. Pemerintah juga menargetkan kunjungan wisma pada tahun 2020 sebanyak 21,6 juta orang. Diharapkan wisman semakin naik dan lamanya tinggal serta pengeluaran Wisman yang awalnya hanya US 1200/kunjungan, dapat lebih naik lagi.
Seiring dengan komitmen pemerintah terhadap prioritas pembangunan kawasan wisata baru, daerah wisata yang sudah dari dulu ada juga mulai berbenah untuk memperbaiki sarana dan prasarana. Kita ketahui bersama bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki eksotisme pariwisata masing-masing, yang menjadi daya tarik serta kebanggaan tersendiri. Data menunjukkan bahwa Jumlah wisatawan lokal maupun mancanegara yang datang cenderung fluktuatif dan tidak mengalami peningkatan yang signifikan.
Sebagaimana dilansir BPS pada 01 Juli 2019, ternyata Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia pada Mei 2019 mengalami kenaikan 1,10 persen dibanding jumlah kunjungan pada Mei 2018. Namun, jika dibandingkan dengan April 2019, jumlah kunjungan wisman pada Mei 2019 mengalami penurunan sebesar 3,19 persen”.
Untuk meningkatkan jumlah wisatawan, pemerintah mendorong terbentuknya beberapa daerah di Indonesia dengan sistem pariwisata seperti di Bali. Presiden Joko Widodo membuat strategi pertumbuhan “10 Bali Baru” yang bertujuan untuk meniru dampak ekonomi pariwisata di Bali secara nasional.
Namun sepertinya “gayung tidak bersambut”. Upaya menarik wisatawan ke area “Bali baru” terkendala dengan mahalnya harga tiket pesawat dari dan ke wilayah tersebut. Mahalnya harga tiket pesawat juga dikeluhkan oleh wisatawan lokal. Dengan alasan tiket pesawat mahal, wisatawan lokal lebih memilih berpariwisata ke luar negeri.
Sebagai contoh, untuk tiket pesawat Jakarta – Labuan Bajo pada tanggal 28 Desember 2019 sebesar Rp 2.247.000/pax, sedangka di tanggal yang sama harga tiket Jakarta – Singapura Rp 1.507.500/pax.
Wisatawan lokal yang memilih berlibur keluar negeri dengan alasan tiket mahal bukan “tidak memiliki rasa nasionalis, namun karena ekonomis”. Wisatawan lokal sangat ingin berlibur ke destinasi “bali baru”, namun selisih harga tiket yang sangat besar membuat urung.
Selain keluhan mahalnya harga tiket pesawat, pengelola daerah wisata juga kurang “friendly” dengan kebutuhan kaum milenial. Sebagaimana dikatakan oleh Kepala Biro Komunikasi Publik Kemenpar Guntur Sakti yang dilansir pada media online Bisnis.com (9/9/2019) menyatakan bahwa “dalam 5 tahun terakhir yaitu sepanjang 2013—2018, jumlah perjalanan wisatawan domestik memang telah meningkat lebih dari 21%. Menurutnya, selama ini tren wisatawan domestik yang terus meningkat lebih didominasi oleh generasi milenial, yaitu sekitar 70 persen”.
Kaum milenial yang senang “berpetualang” dan sedikit bermalam, kurang membutuhkan hotel yang lengkap fasilitasnya. Mereka lebih memilih penginapan “praktis”. Keinginan wisatawan milenial berpetualang, semestinya dapat disikapi oleh pengelola wisata dengan menyediakan paket-paket wisata yang “milenial friendly”, termasuk penyediaan berbagai moda transportasi yang digunakan untuk menjangkau ke lokasi tersebut.
Untuk bisa mendatangkan wisatawan lokal ke destinasi “Bali Baru” tidak cukup dengan slogan “Tunjukkan nasionalisme dengan mengunjungi lokasi wisata lokal”. Mengingat eksotisme Indonesia tersebar di berbagai pulau, dan transportasi cepat ke lokasi tersebut hanya dengan pesawat terbang, maka Pemerintah selayaknya segera membuat “regulasi” terkait mahalnya harga tiket.
Yang ada saat ini sepertinya Pemerintah tidak berdaya dengan oligopoli maskapai penerbangan dalam menentukan harga. Pengumuman Pemerintah bahwa harga tiket turun, hanya “angin sorga” atau istilah milenialnya “PHP”.
Usulan HIPPI
Agar target jumlah wisatawan Mancanegara tercapai, dan Sekaligus meningkatkan jumlah wisatawan lokal, maka langkah utamanya adalah menjadikan harga tiket pesawat kompetitif dan terkendali.
Selain itu, Pemerintah juga harus melakukan : Pertama, koordinasi dan synergi dengan seluruh Maskapai asing dan lokal yang melayani akses ke destinasi prioritas, untuk menjaring wisatawan mancanegara ke Indonesia.
Kedua, Menyediakan berbagai moda transportasi umum yang terkoneksi dan mudah di akses dari dan menuju lokasi wisata.
Ketiga, Membuat informasi daerah wisata dalam bentuk “map atau peta” yang diletakkan di Airport, seaport, stasiun kereta, terminal bus, penginapan, restaurant, tentang daerah wisata dan alat transportasi yang tersedia.
Keempat, Memberikan edukasi ke masyarakat sekitar lokasi wisata tentang “menjadi tuan rumah yang baik” serta pelatihan “pelayanan prima” bagi pegawai yang bekerja di sektor wisata.
Oleh : Dewan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (DPP HIPPI), Ketua Umum Suryani Sidik Motik, Sekretaris Jenderal Ariful Yaqin Hidayat