JAKARTA, Beritalima.com–Dalam alam demokrasi, Pemerintah tidak perlu paranoid terhadap maraknya mural yang bermunculan di daerah di tanah air belakangan ini.
Mural tersebut karya seni jalanan yang punya peradaban cukup lama, Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia menilai di alam demokrasi, pemerintah tidak perlu paranoid terhadap maraknya mural yang bermunculan di berbagai daerah akhir-akhir ini.
Sebab, mural merupakan karya seni jalanan yang memliki peradaban yang cukup lama, selain energi kreativitas serta energi survival untuk bertahan hidup.
“Karena itu, pemerintah tidak paranoid, apalagi merasa terganggu,” jelas Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Muhammad Anis Matta dalam Gelora Talks bertajuk ‘Mural yang Viral, Dihapus di Dinding Menjalar ke Medsos’ yang digelar di Media Centre Gelora, Jalan Taman Patra Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (8/9) petang.
Kalau melihat emosi yang menyertai komen publik, papa politisi senior ini, ada takut sedih dan senang. Seperti makanan Thailand, asam, pedas dan manis. Jadi, rasanya nano-nano, campur-campur seperti warna-warni yang ada dalam mural itu. Karya seni itu seharusnya harus dihargai dan diapresiasi.,” kata Anis.
Dalam diskusi yang digelar virtual dihadiri Budayawan, Ridwan Saidi, Seniman dan Pelukis Kawakan Iwan Aswan, serta Founder Drone Emprit Ismail Fahmi itu. “Mural bersentuhan dengan realitas kehidupan dan bisa juga memberikan pesan atau energi positif buat pemerintah.”
Menurut Wakil Keua DPR RI Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Kesra) 2009-2014 ini, mural seharusnya bisa menjadi energi positif, sehingga pemerintah tidak perlu paranoid. Pemerintah justru harus mengarahkan dengan semangat mengakomodasi, energi kreatif dan survival. Mural akan memberikan energi positif, kalau dia diakomodasi secara baik,” kata dia.
Karena itu, Anis meminta Pemerintah tidak reaktif dengan menghapus karya seni tersebut, yang berisi kritik sosial dari realitas kehidupan. Sebab semakin dihapus, malah mural-mural baru bisa bertambah banya.
“Kalau Pemerintah sensitif, justru akan bermunculan mural-mural lain. Bahkan belakangan ini sudah mulai merambah ke media sosial (medsos),” ungkap politisi kelahiran Waledo, Bone, Sulawesi Selatan ini.
Anis juga meminta Pemerintah tidak perlu sensitif dengan mural yang sudah berkembang dari dinding sampai ke media sosial seperti saat ini.
“Mural harusnya dikembalikan ke karya seni yang harusnya diapresiasi. Mural bisa dikembangkan menjadi produk seni dan masuk program pengembangan ekonomi kreatif yang bisa mendatangkan wisatawan.”
Anis juga meminta masyarakat dalam menyampaikan ekspresi harus ada etika kesopanan, termasuk mengekspresikan dalam bentuk mural. Sebab, kebanyakan mural yang selama ini dibuat terkesan kritik, terutama pada pemerintah atau penguasa.
“Mudah-mudahan saran kita didengar pemerintah, sehingga para seniman mural mendapatkan ruang besar dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga demokrasi kita punya makna lain, demokrasi yang punya art, demokrasi yang punya seni,” ucap Anis.
Pada kesempatan yang sama, Ridwan Saidi mengatakan, mural adalah salah satu karya seni tertua yang sudah ada sejak ribuan tahun. Mantan anggota PR RI ini mencontohkan di sejumlah goa di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara ditemukan mural dalam bentuk tulisan dan gambar maupun grafis yang memberikan pesan di masa itu.
Bahkan mural itu menggambarkan sistem kekuasaan atau pemerintahan di masanya. Dengan mural-mural itu para sejarawan bisa mendapatkan gambaran peradaban masa lalu.
Seniman dan pelukis kawakanm Iwan Aswan mengatakan, semakin Pemerintah bereaksi terhadap seniman mural hingga menangkapnya, mereka akan melakukan perlawanan, karena mereka memiiki idealisme dalam dirinya. “Bisa jadi, mereka malah bangga kalau ditangkap karena merasa tujuannya berhasil dalam menyampaikan pesan lewat mural.”
Iwan menyayangkan penghapusan mura yang berpotensi menghambat ekspresi para pembuatnya. “Mural tidak perlu ditakuti karena menjadi salah satu bentuk karya seni, serta kebebasan berekspresi yang dituangkan dalam suatu media, namun tetap berada dalam koridor etika dan moral,” demikian Iwan Aswan. (akhir)