Muruah Hakim

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas IA)
Baru-baru ini dunia peradilan kembali mendapat “musibah”. Peristiwa kekerasan yang terjadi di ruang sidang PA Lumajang yang dialami oleh salah seorang yang menjadi pihak dalam suatu perkara, harus menimpa pula aparat peradilan. Tempat duduk yang menjadi salah satu sarana ruang sidang, menjadi alat salah satu pihak berbuat kekerasan. Tidak tanggung-tangung, yang ikut menjadi korban kekerasan itu adalah seorang hakim yang justru menjadi Ketua Majelis perkara perceraian yang hampir setiap hari digelutinya. Meskipun aparat setempat telah dengan sigap ‘mengamankan’ pelaku, akan tetapi tetaplah ‘insiden berdarah’ ini menjadi tambahan deretan daftar pengalaman buruk bagi dunia peradilan pada umumnya.

Khusus dalam sidang percaraian peristiwa kekerasan memang bukan kali pertama. Sebelumnya banyak peristiwa kekerasan yang menimpa hakim yang oleh karena tidak terekspos tidak banyak diketahui masyarakat. Kekerasan ini bentuknya memang beraneka macam, mulai yang hanya dalam bentuk kekerasan verbal sampai kekerasan fisik. Dalam bentuk kekerasan verbal, seperti ucapan tertentu berupa ancaman yang ditujukan kepada hakim atau aparat peradilan lainnya. Yang berbentuk kekerasan fisik seperti pemukulan, pelemparan. Mengenai yang terakhir ini, masyarakat tentu masih ingat peristiwa yang dialami Hakim Ahmad Taufik (PA Sidoarjo) yang harus gugur karena menjalankan profesi akibat ulah seorang Kolonel Angkatan Laut Irfan Djumroni yang dilakukan segera setelah menghabisi istrinya Eka Suhartini di ruang sidang. Sama dengan yang terjadi di Sidoarjo, maksud hati melerai akan tetapi justru ikut menjadi sasaran amarah nan fatal. Di PN Banyuwangi, seorang terdakwa tiba-tiba melompat menyerang Majelis setelah putusan dibacakan.

Sebagai aparat yang sehari-hari berhadapan dengan sengketa keluarga mulai dari hanya pertengkaran biasa sampai yang luar biasa, para hakim sebenarnya sudah tahu karakteristik perkara yang akan dihadapi. Sebelum sidang para hakim biasanya sudah memilah sekaligus memetakan tumpukan berkas di meja kerjanya, mana perkara yang biasa dan ‘rumit’ termasuk yang berpotensi rawan. Sekalipun perkara yang dihadapi pada umumnya menyangkut perceraian dan oleh banyak orang sering dianggap sederhana akan tetapi dalam perjalanan sering berjalan tidak sederhana. Sengketa hukum keluarga merupakan perkara sengketa menyangkut yang sengketa hati. Kata pepatah dalam laut dapat diduga dalam hati siapa tahu. Demikiaan pula pereselisihan yang terjadi antara suami istri yang pasti menyangkut wilayah hati. Oleh karenanya juga sering tidak dapat diukur, termasuk tidak dapat diduga akibat yang ditimbulkanya. Sering terjadi perkara yang semula dianggap biasa-biasa saja tiba-tiba menjadi perkara yang di luar perkiraan hakim. Dialog yang semula datar-datar dan biasa-biasa saja, tiba-tiba menjadi dialog kasar nan jorok akibat dipicu kemarahan dan sakit hati salah satu pihak yang terjadi secara spontan. Dalam situasi demikian sering para pihak lupa bahwa mereka sedang berhadaan dengan para hakim yang akan mengadili mereka. Dengan segudang pengalaman yang dimiliki para hakim dengan caranya biasanya juga akan berupaya mengeluarkan jurus-jurus tertentu agar pertengkaran mulut suami sitri yang duduk berhadap-hadapan di depan hakim, tidak berlanjut ke pertengkaran fisik di ruang sidang. Akan tetapi tetap saja, satu dari puluhan perkara masih saja lolos dari prediksi semula dan insiden pun terjadi di luar dugaan. Dan, yang demikian potensi terjadinya insiden bisa menimpa hakim siapa saja tanpa mengenal strata senioritas.

Muruah Hakim
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesian “muruah” berarti kehormatan diri; harga diri; nama baik. Dalam bahasa sehari-hari banyak orang memakai kata “marwah”. Kata terakhir ini bahkan sering diucapkan dalam forum resmi dan kadang-kadang juga oleh para pejabat. Mereka menyebut marwah juga dimaksudkan untuk menyebut “kehormatan”. Akan tetapi kata yang disebut terakhir (marwah) sebenarnya menurut KBBI tidak baku. Sehingga pemakaian kata marwah yang biasanya diucapkan orang, sebenarnya harus kita anggap sebagai ucapan yang salah kaprah. Akan tetapi, karena sering diucapkan dan yang mengucapkan orang-orang penting seolah benar adanya.

Apa yang terjadi di Pengadilan Agama Lumajang dan menajadi berita baik media regional maupun nasional itu, mengingatkan kita akan muruah hakim itu. Kekerasan yang menimpa hakim dari peradilan mana pun, sejatinya sudah menyinggung martabat jabatan hakim. Sebagai pejabat yang lekat dengan predikat “Yang Mulia”, jelas tidak sepentasnya mendapatkan ‘reward’ demikian. Pada saat yang sama insiden tidak intelek itu juga paradoks dengan stigma hakim sebagai wakil tuhan di bumi. Yang lebih mengenaskan ialah adanya musibah yang sering menimpa dunia peradilan, justru masih ada pihak yang “nyukurne”. Adanya sejumlah oknum peradilan yang nakal dijadikan alasan. Padahal, cerita tentang oknum nakal itu bisa muncul di mana saja: menteri, polisi, jaksa, advokat, atau pejabat lain dan bahkan di dunia pesantren.

Dalam struktur peradilan hakim sejatinya hanyalah salah satu unsur aparat yang ada. Di kanan kirinya terdapat para pemangku kepentingan yang juga menjadi bagian penting bagi jalannya peradilan. Sebagai pejabat fungsional hakim sering menjadi semacam tim ahli pada struktur organisasi peradilan yang ada. Sebagai pejabat funsional hakim tidak ikut penentu kebijakan akhir sebuah satker yang ada. Sebagai pejabat yang tupoksinya menyidangkan perkara hakim sering tidak sempat tahu banyak mengenai implemantasi harian sebuah keputusan pihak manajemen yang bisanya dipegang oleh para pejabat struktural yang ada. Ketika hakim melaksanakan tupoksi pokoknya (bersidang) sejatinya hakim hanya sebagai penikmat tupoksi para pejabat struktural sebagai unit penunjang (supporting unit). Ketika bersidang sejatinya garansi kondusivitas suasana pengadilan sangat tergantung kepada operasionalisasi pihak manajemen.

Dari ilustrasi di atas dapat kita katakan bahwa ketika hakim bersidang martabat hakim yang berkaitan dengan keselamatan, kenyamanan selain antisipasi yang dibuatnya sendiri, juga sangat tergantung kepada sejauhmana tingkat antisipasi para pihak manajemen. Ketika mau bersidang, Hakim yang kepalanya sudah dipenuhi dengan rekaman kasus perkara yang akan disidangkan (yang biasanya telah membuatnya mumet itu) tidak mungkin diganggu dengan keharusan ikut memikirkan hal-hal di luar berkas perkara yang akan disidangkan. Dengan kata lain, bahwa selain harus dijaganya sendiri, martabat hakim ketika bersidang sejatinya juga terkait dengan para pejabat lain yang ada. Eksistensi satpam, metal detector, dan properti dalam ruang sidang termasuk bagian yang bisa didayagunakan untuk menunjang muruah hakim. Khusus di Pengadilan Agama yang perkaranya harus dilaksanakan secara tertutup untuk umum, para pemangku kepentingan yang ada bisa membuat kebijakan sedemikian rupa guna mengantisipasi terjadinya kekerasan yang bisa muncul secara tidak terduga tadi. Muara dari semua kebijakan dan implementasinya, bagi hakim hanya 2 kata, yaitu bagaimana bisa bersidang dengan “aman” dan “nyaman”. Bukankah inti keberadaan kantor pengadilan ialah mengadili perkara dan puncaknya, tanpa mengecilkan unsur lain, sangat tertumpu kepada kinerja hakim. Di suatu gedung pengadilan mungkin bisa tidak ada pejabat tertentu, tetapi jangan sampai tidak ada hakim. Nah, kalau demikian keberadaan hakim penting bukan? Oleh karena itu, mari sama-sama kita jaga muruahnya.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait