Musik Bisa Merusak?

  • Whatsapp

Aliran musik begitu beragam, seperti pop, jazz, blues, country, underground, klasik, dan banyak lagi jenis lainnya. Keberagaman itu membuat setiap orang dapat memilih lebih spesifik, apa jenis musik yang disukainya. Tapi apakah musik benar-benar aman untuk dinikmati?

Banyak para pendengar musik dari yang awam hingga ahli memilih musik sebagai teman di waktu senggangnya. Kebiasaan itu punya tujuannya masing-masing tergantung siapa pendengarnya. Ada yang memanfaatkan musik sebagai penyemangat, ada juga yang demi meningkatan performa. Namun ternyata tidak semua jenis musik berdampak positif bagi pendengarnya.

Salah satu musik tidak sehat adalah musik bawah tanah atau underground. Musik yang menurut Wikipedia begitu mandiri (indie) karena menjual albumnya hanya dari mulut ke mulut atau dijual di situs internet itu, ternyata tidak sehat bagi pertumbuhan otak.

Shandy Siahaan, selaku konduktor (dirigen) paduan suara, mengklaim bahwa Musik-musik underground dapat merusak fungsi otak lewat distorsi kencang yang masuk ke otak. ”(musik underground) itu yang merusak neuron-neuron,” jelas Shandy. Adapun neuron merupakan sel-sel saraf yang mampu menyimpan dan mengirimkan informasi.

Tak hanya musik underground, kebiasaan mendengarkan musik jenis apapun hingga menjadi candu juga perlu diwaspadai. Pasalnya jika tubuh sudah terstimulus biasa mendegarkan musik, maka kita cenderung rela melakukan apa saja untuk itu. “Kita penikmat blues contohnya, terus blues yang dikejar, itu yang membuat candu, jika ketergantungan panjang, itu bahaya juga,” jelas pria yang sudah lebih dari 10 tahun menggeluti musik.

Selain waspada akan candu, musik sebaiknya tidak asal didengarkan ke anak-anak atau orang tua. Klasifikasi perlu dilakukan agar pesan yang disampaikan musisi, dapat sampai ke mereka para pendengar. “Karena musik ini termasuk lagu juga ya, banyak yang kurang mendidik, dan lagu tidak ada batasannya untuk dikonsumsi kan, dia terekspos secara gamblang, bisa diperoleh di mana-mana, internet ada, bahkan kita ke warung makan ada musik distelin, sementara di tempat umum itu dari berbagai rentangan umur,” keluh pria bermarga Siahaan itu.
Pantauan di lapangan pun membuktikan banyak anak kecil yang menyanyikan lagu-lagu dengan lirik vulgar. Seperti cerita patah hati, percintaan, dan bahkan urusan ranjang. Padahal bocah-boah tersebut juga belum pernah mengerti rasanya mencinta. “Nah ini juga mempengaruhi pola pikir seseorang, menjadi lebih pesimis, menjadi lebih melankolis, dan gak terang dalam berpikir,” ucapnya datar.

Sayangnya, budaya kita cenderung tidak mau mengkritisi untuk apa lagu itu dibuat. Orang-orang hanya menikmati alunan nada yang diimbangi dengan susunan kata yang indah. Padahal banyak juga kata-kata yang kurang pas dengan alunan nadanya, contoh lagu anak-anak, Tik Tik Bunyi Hujan.

“Tik tik tik bunyi hujan di atas genting, airnya turun,” seperti itu penggalan liriknya. Shandy heran, tepat di kata ‘airnya turun’, nada malah meninggi. “Airnya turun tapi (nadanya) naik,” jelasnya. Hal itu rupanya memengaruhi psikologis seseorang.

Sebagai contoh, lagu-lagu keagamaan. “Semua frasa yang menggunakan kata ‘Tuhan’ nadanya pasti naik. Menandakan kalau Tuhan lebih tinggi,” jelas Shandy. Maka sebenarnya, musik memliki edukasinya sendiri lewat nada, lirik yang tepat.

Lalu, bagaimana cara mencegah candu atau semua hal negatif musik itu? Pertama, pendengar musik perlu bantuan dari orang lain, terutama keluarga. Bimbingan mereka perlu apalagi jika musik underground alasan candunya. “Paling nggak dengan teguran seperti itu pelan-pelan bisa kita bisa menyadarkan untuk mengatasi candu. Karena agak susah mengandalkan diri sendiri,” tegasnya.

Untuk diri sendiri, hindari fanatisme terhadap musik atau lagu. Masalahnya jika sudah terlanjur fanatik, musik bisa terus terngiang-ngiang di kepala, bahkan diresapi. Terutama musik-musik keras yang dapat memicu adrenalin untuk mengeluarkan energi yang besar. “Sehingga kita sering melihat ada namanya moshing, ada headbang, dan lain-lainnya,” jelas Shandy. Kalau tidak disalurkan dengan baik, perilaku itu bisa menjadi perkelahian bahkan perpecahan.

Seorang musisi yang berkuliah di Institut Kesenian Jakarta, August Pandapotan, juga mengamini candu tersebut. Alunan nada musik kata dia, merupakah bahasa universal yang selalu bisa mewakili perasaan sehingga begitu menarik. “Contoh aja ketika lo lagi suka sama satu lagu nih, pasti akan minimal denger dua kali dalam sehari,” jelas pria yang sudah menjadi gitaris sejak Sekolah Menengah Pertama itu.
Maka sebenarnya munafik menurutnya, jika ada orang yang tidak memutar musik atau lagu secara berulang-ulang. Kata ‘kecanduan’ pun menjadi kurang pas bahkan terkesan berlebihan. Sebaiknya, kata itu diganti menjadi ‘penikmat’ ketimbang ‘pecandu’. “Gue gak percaya aja sama orang-orang yang bilang jangan kecanduan sama musik. Malah menurut gue orang yang begitu tuh aneh,” ungkapnya.

Kalaupun anjuran jangan kecanduan musik terus disuarakan, ia yakin tak akan merugikan musisi sendiri. Terutama jika musik yang dihasilkan mampu menggugah hati. “Sekalipun loe bukan penikmat musik, pasti ada kok 1-2 band atau grup vocal yang karyanya loe dengar berulang-ulang,” kata pria asli batak itu memastikan.

Karena itu, candu musik pun menurut penikmatnya belum bisa dikategorikan berbahaya. Mereka yakin, musik menciptakan energi positif. “Candu yang bersifat positif dan non addictable,” ungkap Evander, penikmat musik.

Ellita Zahara, pecandu musik lainnya juga mengaku tidak masalah. “Kan dengerin di saat tertentu aja. Misalnya lagi bosen sendiri, justru musik bisa jadi penyemangat gitu,” kata perempuan itu.

Kalaupun candu musik sudah menjadi masalah besar, Ellita menjamin dirinya tetap mendengarkan lagu. “Soalnya itu yang aku suka,” katanya.

Alunan lagu memang begitu memesona. Bisa membawa perasaan mendayu-dayu entah ke mana. Tapi nikmatilah musik secara wajar pada tempatnya. “Bahaya, kalau musiknya jadi terus prioritas,” kata penikmat musik lainnysa, Johnes.

Apapun alasannya, musik tetap pada pesonanya. Lantunan nada misteri dari musik, bisa saja membuat penikmatnya menitihkan air mata bahkan tawa bahagia. Tapi tidak salah memilih musik aman sebagai pertimbangan. Jadilah pendengar bijak, yang patuh akan norma-norma tempat kita berpijak.

Hotlas Mora Sinaga

[Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta (PNJ)]

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *