beritalima.com | “Bau apa nih?”, “aku mau bunuh diri aja lah gakuat gakuat, hahahahaha,” dan tanpa mereka ketahui, anak yang mereka ejek itu dengan senang hati ingin bertemu dengan sang pencabut nyawa.
Masa SMA. Mungkin banyak orang yang mengatakan “masa SMA adalah masa yang paling indah,” tapi ini tidak berlaku untukku. Ya, tebakan kalian benar. Aku, anak yang menerima segala ejekan di atas. Mungkin kebanyakan orang hanya menganggap itu hanya bercanda. Tapi coba lihat lagi, terutama kalimat terakhir, apa manusia pantas melontarkan candaan seperti itu?
Sebenarnya masa SMA ku tidak terlalu buruk pada awalnya. Namun semua berubah 180 derajat sejak studytour kelas 8. Aku yang dulunya punya banyak teman, perlahan dikucilkan, ditinggal, diabaikan bagai kerikil di tanah, dan semua bertambah buruk ketika UN mendekat. Aku Sania. Seorang anak pendiam yang kurang bisa bersosialisasi dengan kawan di sekolah, penyendiri, terlihat lemah, bodoh, dan ceroboh. Ini kisahku, betapa terpuruknya aku dulu, di “masa-masa indah” itu.
Pada semester awal kelas 8, kehidupanku yang putih-abu perlahan berwarna. Aku memutuskan merubah diriku dari yang pendiam menjadi terbuka, ceria, dan pergi dari ke abu-abuan itu. Aku mendapat teman baru, hidup baru, pribadi baru, dan segala hal positif berdatangan padaku.
Kelasku, XI IPA 5, disebut sebagai kelas terkompak diantara semua kelas IPA. Aku awalnya setuju dengan julukan itu, karena memang kami saling memikul dalam segala masalah.
Tak ada yang dibedakan, bahkandi kelas kami, si bandel pun bisa dengan mudah berteman dengan si pintar dan si alim. Saat itu aku mulai setuju kalau masa SMA adalah masa paling indah dan seru.
Sampai akhirnya tiba waktunya studytour angkatan. Hubungan pertemananku dan salah satu teman sekelasku mulai retak. Tak berhenti sampai disitu, saat kembali bersekolah seperti biasa pun, teman-teman yang lain mulai menjauhiku entah apa alasannya. Hingga pada kelas 12 atau tepanya kelas 3 SMA, hampir semua anak di kelas ikut menjauhiku. Disini awal perundungan terjadi.
Aku merasa tertekan. Hari-hari untuk berangkat ke sekolah sudah seperti kerja rodi. Sekolah menjadi neraka dunia bagiku. Perlahan aku mulai stress, ditambah ujian nasional yang perlahan mendekat. Tidak ada yang mau duduk denganku. Aku adalah sampah, monster yang harus di enyahkan, dan debu yang harus dihempas dari peradaban. Aku sendirian.
Satu kesalahan kecil, hidupmu tamat. Ya, itu bagian terbusuk dari kelasku. Pasalnya, saat aku memakai rok yang bau apek karena kurang kering saat dijemur, mereka langsung melontarkan kata-kata yang kurang enak didengar. “Bau apa nih?”, ”bau bangke ih,” dan lain-lain. Hingga ada teman yang berani duduk disebelahku, dan mereka makin menjadi-jadi. Lalu guru kimia ku masuk dan mengumumkan hari itu ada ulangan harian, anak-anak dikelas makin ribut. Untungnya teman dan guru ku ini membelaku.
Ulangan selesai, aku hanya bisa diam, menggigil, menahan agar tidak menangis. Apa mereka berhenti? Tentu tidak. Sampai ada beberapa teman lagi yang mungkin melihatku tertekan, lalu menghampiri, mencoba menenangkan. Aku tetap tidak kuat, ku putuskan untuk pulang tanpa memberitahu siapapun kecuali satu temanku, Firda. Dia yang mengantarku pulang hari itu. Jika aku cukup pengecut, mungkin aku tidak ada di dunia ini sekarang.
Setelah kejadian itu, 3 hari kemudian aku kembali sekolah, mereka masih mengejekku. Sampai akhirnya aku buka suara, dan mengatakan kalau kelakuan mereka itu buruk. Sangat buruk, stress dan bunuh diri bukan hal yang bisa dijadikan sebagai bahan bercandaan, “untung yang kalian bully itu saya, coba kalau orang lain yang kalian gituin? Kalau saya pengecut, dan kalo bukan karena nenek saya, saya udah resign dari dunia dari 3 hari lalu,” mereka pun terdiam. Sejak saat itu mereka mengurangi perundungan terhadapku.
Makin hari, aku mulai bangkit. Selepas UN dan segala tes masuk universitas, akhirnya aku diterima di PNJ. Sedangkan teman yang sempat merundungku ada yang melewati setahun dengan tidak kuliah, dan ada yang hanya diterima di kampus kecil. Aku mulai bangkit dari keterpurukanku, bertemu teman baru, jadi pribadi yang baru, dan lebih kuat dari sebelumnya. Aku berhasil keluar dari badai yang menerjang dan menjadi neraka ku menuju musim semi dengan bunga yang indah dan berwarna.
(Gusti Sania Nur Fajra/Politeknik Negeri Jakarta)