Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)
Seorang hakim tampaknya harus menerima kenyataan ketika pengumuman hasil rapat Tim Promosi dan Mutasi (TPM) itu mencantumkan namanya harus bertugas di salah satu daerah nan jauh di sana. Meskipun demikian, seperti lazimnya, banyak temannya yang mengucapkan selamat atas terbitnya pengumuman yang biasa selalu ditunggu setiap hakim itu. Sang hakim tadi, sikapnya terlihat datar-datar saja. Tampaknya, ada perasaan berbeda dari yang lain, yang dirasakan sang Hakim. Ada perasaan gembira dan sedih bercampur aduk menjadi satu. Merasa gembira karena dapat mencapai puncak karir sebagai hakim sekaligus pengabdian dan jerih payahnya sebagai hakim selama ini seolah mendapat pengakuan yang berwenang. Akan tetapi, juga sedih karena harus memulai babak baru dalam hidup. Dengan usia yang sudah relatif tua ini, ia merasa tidak layak lagi harus hidup demikian. Dengan usia kepala enam, mestinya sudah harus menggapai puncak spiritualitas yang jika mengacu umur baginda rasulullah SAW tinggal beberapa tahun lagi harus menuju kehidupan baru di alam lain. Baginya mencapai puncak karir ( sebagai hakim) memang perlu, tetapi dengan capaian hidup dan kehidupan yang sudah ada selama ini, dia sudah merasa lebih dari cukup dan tinggal mensyukuri. Dalam kondisi demikian, pulang bertugas di tempat yang dekat keluarga biasanya lebih diharapkan kebanyakan orang. Mungkin dalam hati sang hakim itu, sesekali terbersit pertanyaan sedikit egois: Ah….mau cari apa lagi?
Pascareformasi, pola promosi dan mutasi aparat peradilan semakin lama memang semakin mengalami perbaikan. Kalau dulu, khususnya aparat peradilan agama, sering harus mengalami masa tugas dengan durasi waktu yang tidak menentu. Dinas di suatu satker bisa saja berlangsung bertahun-tahun tanpa batasan waktu yang jelas. Bahkan, ada pejabat peradilan sejak dari pengangkatan bisa mamasuki purna tugas di satker yang sama. Akan tetapi, sejak konsep satu atap (one roof system) dicanangkan dan Mahkamah Agung mempunyai kewenangan memanaj pegawai berikut anggarannya sendiri, maka pola-pola promosi dan mutasi secara pelan tetapi pasti mengalami perbaikan demi perbaikan.
Khusus bagi hakim, pola promosi dan mutasi itu terakhir diatur oleh KMA Nomor 48/KMA/SK/II/2017 tentang Pola Promosi dan Mutasi Hakim Pada Empat Lingkungan Badan Peradilan yang mulai berlaku sejak 17 Februari 2017. Pola promosi dan mutasi ini diterbitkan dengan maksud untuk memperbarui pedoman yang sudah ada sebelumnyaa agar selaras dengan perubahan keadaan/ formasi Hakim di lapangan dalam omptimalisasi pelayanan publik di Pengadilan maupun tuntutan adanya penigkatan kualiatas sumber daya manusia sejalan dengan kebijakan dicanangkannya zona integritas di Mahakamah Agung. Dalam konteks pencapaian visi MakamahAgung, kebijakan promosi dan mutasi ini juga digunakan sebagai pedoman untuk mmemperoleh kesamaan pikir, sikap dan tindakan bagi tim promosi dan mutasi dalam mengambil keputusan penempatan hakim pada empat lingkungan badan peradilan.
Terdapat 3 istilah kaitannya dengan aturan ini, yaitu promosi, mutasi, dan demosi. Promosi adalah perpindahan Hakim ke jabatan yang kebih tinggi atau perpindahan ke penagdilan dengan kelas/ kualifikasi/tipe yang lebih tinggi. Mutasi (alih tempat) adalah perpindahan tugas seseorang atau hakim atau pimpinan pengadilan dari satu tempat ke tempat tugas yang baru, dalam posisi jabatan yang tetap sebagai hakim atau wakil ketua atau ketua pengadilan. Sedangkan demosi adalah mutasi ke pengadilan yang kelasnya atau klasifikasinya lebih rendah. Kebijakan demikian ditempuh juga dalam konteks penegakan reward and punishment.
Secara enumeratif tujuan promosi dan mutasi bagi empat lingkungan badan peradilan ini telah disebut pada angka romawi tiga dari a sampai f. Di antara semua tujuan tersebut ada satu tujuan yang tampaknya menjadi bahan renungan bagi setiap hakim yang mengalami. Yaitu, bahwa promosi dan mutasi itu harus dilakukan dalam rangka memberikan pengalaman regional dan nasional. Konsekuensi dari kebijakan demikian sering menimbulkan kejutan-kejutan bagi hakim. Sering terjadi hakim yang sudah merasa nyaman bertugas di satu tempat tiba-tiba harus berpindah tugas jauh dari lingkungan keluarga dan daerah asal. Bahkan, jangkaun pindah ini tidak jarang harus sampai keluar pulau dan lingkungan yang sama sekali baru. Bagi yang tidak siap mental kebijakan demikian sering menimbulkan kecemasan luar biasa. Kalau pun tidak kepada hakim yang bersangkutan kecemasan ini tidak jarang dirasakan oleh keluarga yang ditinggalkan. Pada saat demikian, mau tidak mau harus mengingat kembali komitmen awal sebagai PNS/ASN, yaitu “Siap ditempatkan di mana pun dan kapan pun di seluruh wilayah RI”. Mengapa? Di satu sisi bertugas di wilayah sendiri memang kebutuhan pribadi dan keluarga tetapi di sisi lain mutasi PNS memang suatu keniscayaan. Pada saat yang sama PNS telah pula dituntut untuk mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi. Ketika mutasi sebagai kepentingan negara harus terjadi maka siapa pun yang merasa abdi negara dituntut untuk melupakan keinginan-keinginan ideal yang bermuara dari kepentingan pribadi. Dalam konteks demikian, judul buku “Jangan Terjebak di Zona Aman” yang ditulis oleh Mas Arif Hidayat, tampaknya sangat relevan dengan situasi suasana kebatinan di atas, sekaligus memberikan cakrawala hati dan pikiran tentang “dunai per-mutasi-an”.
Bagi aparat peradilan agama mutasi ke mana pun memang tidak seharusnya membuat sedih. Apalagi, harus membuat frustasi dan patah semangat. Kedatangan berita mutasi setidaknya sudah menimbulkan 2 sikap: “sedih” dan “gembira”. Dua perasaan itu sering berada pada kutup berbeda dan bahkan saling berjauhan. Bagi orang beriman, bagaimana seharusnya bersikap ketika perasaan berada di salah satu kutup itu, sudah ada ‘juklak’nya. Ketika “sedih” harus bagaimana, sebaliknya ketika “gembira” harus bagaimana pula. Dengan demikian, mutasi yang sering mengejutkan ini, dapat menjadi tantangan untuk menguji sisi religiusitas kita. Pada saat yang sama, sebagai makhluq yang diciptakan untuk menjadi khalifah di bumi, memang kitalah yang bertugas memakmurkannya. Fenomena baru yang kita jumpai di alam tempat tugas yang baru, tentu menimbulkan pesan bisu untuk menjadi cermin kehidupan kita selanjutnya. Saat kita bertugas di tempat yang baru kita akan bertemu dengan oran-orang baru. Pertemuan dengan orang baru ini tidak jarang tercipta persahabatan abadi. Perpisahan dengan keluarga yang hanya sementara ternyata kemudian mendapat ganti sahabat yang tidak sementara berserta segenap ‘keuntungan’ yang ditimbulkannya. Dalam praktik kawan baru yang menjadi saudara baru itu bahkan sering membawa kemudahan hidup kita berikutnya. Ternyata benar salah satu bait syair Imam Syafi’i: “Perbanyaklah sauadara semampu yang kau bisa. Mereka akan menjadi perut-perut dan punggung-punggung saat kau minta bantuan.” Kepada semua teman hakim yang kebetulan “bermutasi dan/atau berpromosi” kita ucapkan: “Selamat bertugas di tempat baru, selamat memperbanyak sahabat baru pula.”