By. Erizeli Jely Bandaro
Dahulu kala harta adalah sebidang tanah dan kumpulan ternak. Dari harta itu orang hidup dan menghidupi dirinya untuk berkembang dari generasi kegenerasi. Namun belakangan karena manusia semakin bertambah dan kebutuhan semakin meningkat maka kompetisi terbentuk.
Harta tidak lagi diartikan ujud phisiknya. Tapi harta telah berubah menjadi selembar document sebagai bukti legitimasi dari penguasa. Selembar dokumen itu berkembang menjadi derivative asset bila di lampirkan dengan seperangkat izin ini dan itu. Kemudian di gabungkan dengan yang namanya project feasibility maka jadilah sebuah akses meraih uang. Bukan dijual tanpi digadaikan. Uang itu berputar untuk kegiatan ekonomi dan menghasilkan laba untuk kemudian digunakan membeli harta lagi.
Ini disebut dengan nilai reproduksi capital atau project derivative value
Bila laba semakin banyak, tentu harta semakin meningkat. Kumpulan dokumen harta ini dan itu, menjadi saham ( stock ) dalam lembaran dokumen bernama perseroan. Akses terbuka lebar untuk meningkatkan nilai harta itu. Penguasa semakin memberikan akses kepada harta itu untuk berkembang tak ternilai melalui pasar modal , bila harta itu memperoleh akses legitimasi dari agent pemerintah seperti underwriting, notaris, akuntan, lembaga pemeringkat efek. Dari legitimasi ini maka harta menjadi lembaran kertas yang bertebaran dilantai bursa dan menjadi alat spekulasi. Hartapun semakin tidak jelas nilainya. Kadang naik, kadang jatuh. Tapi tanah dan bangunan tetap tidak pindah dari tempatnya.
Akses harta untuk terus berkembang tidak hanya di lantai bursa. Tapi juga di pasar obligasi, Dokument Saham dijual sebagian dan sebagian lagi digadaikan dalam bentuk REPO maupun obligasi. Akses permodalan conventional lewat bank terus digali agar harta terus berlipat lewat penguasaan kegiatan ekonomi dari hulu sampai kehilir. Dari pengertian ini, maka capital seperti yang disampaikan oleh Hernado de soto dalam bukunya The Mystery of Capital mendapatkan pembenaran. Kapital dapat mereproduksi dirinya sendiri. Bahwa harta bukanlah ujudnya tapi apa yang tertulis. Dan lebih dalam lagi adalah harta merupakan gabungan phisiknya dan manfaat nilai tambahnya. Nilai tambah itu hanya mungkin dapat dicapai apabila dalam bentuk dokumen.
Ketidak adilan dibidang ekonomi selama ini, lebih disebabkan oleh akses legitimasi atau perizinan itu. Hingga soal legitimasi ini membuat kegiatan ekonomi terbelah menjadi dua. Yaitu sector formal dan informal. Pemerintah dan politisi dengan entengnya menggunakan istilah formal dan non formal. Anehnya, ini untuk membedakan rakyat miskin dan rakyat kaya. Atau orang pintar dengan orang bodoh. Perbedaan kelas ! padahal negara ini sudah merdeka. Idealnya semua orang harus sama dihadapan negara dan berhak mendapatkan status formal. Kenapa kepada orang tertentu saja disebut formal sementara kepada yang lain disebut informal ?
Inilah akar masalah kenapa terjadi perbedaan antara negara kaya dan miskin. Di China, capital dapat mereproduki dirinya karena kemudahan akses birokrasi. Negara kita , birokrasi menciptakan kelas secara otomatis.
Karena budaya korup, maka orang miskin yang tak bisa menyuap akan kehilang akses legitimasi. Sementara yang bisa menyuap akan mendapatkan akses tak terbatas di bidang perekonomian. Itulah sebabnya dalam bukunya The Other Path, de Soto menyimpulkan bahwa miskin dalam keadaan ’terkunci’ sehingga tetap berada di luar hukum. Segala jenis aset ekonomi mereka dalam berbagai bentuknya tidak dapat diubah menjadi kapital yang diperlukan untuk kegiatan ekonomi.
Sangat menyedihkan sebagai bentuk penjajahan cara baru yang systematis. Dan anehnya ketika UU Cipta kerja disahkan. Justru rakyat miskin yang protes. Aneh aneh.