Jakarta – Pengurus Pusat GMKI (PP GMKI) kembali meminta Presiden Joko Widodo untuk segera mengevaluasi Menko Perekonomian Airlangga Hartato dan Menteri BUMN Erick Thohir.
Menurut GMKI, duet Airlangga Hartato – Erick Thohir tidak mampu optimal menangani covid-19 dan melakukan pemulihan ekonomi nasional, padahal anggaran negara yang telah habis mencapai Rp 1.035,25 Triliun tahun 2020 dan Rp 744,75 Triliun tahun 2021.
GMKI menduga Airlangga Hartato dan Erick Thohir sudah tidak terlalu fokus melakukan tanggung jawabnya sebagai pembantu presiden dan lebih banyak memikirkan kepentingan politik tahun 2024. Pernyataan ini disampaikan oleh Ketua Bidang Aksi Pelayanan PP GMKI, Prima Surbakti dalam keterangan di Jakarta, Rabu, 1 September 2021.
Dalam pelaksanaan PPKM, Lanjut Prima , kasus covid-19 di pulau Jawa-Bali sudah menurun namun lonjakan kasus diluar Jawa-Bali sangat cepat khususnya di Provinsi Sumatera Utara dan Nusa Tenggara Timur selama bulan Agustus 2021.
Sejak tanggal 1-31 Agustus 2021, kasus covid-19 di Sumut melonjak naik menjadi 34.608 kasus dengan rata rata 1.116 kasus per hari dan tingkat kematian 29 orang per hari. Sedangkan, lonjakan cepat terjadi NTT dengan 19.445 kasus dengan rata rata 628 kasus per hari dan tingkat kematian 15 orang per hari.
Menurut Prima, lonjakan kasus covid dan kematian tinggi disebabkan oleh minimnya fasilitas kesehatan, ketersediaan obat tidak merata, mahalnya biaya 3T (Testing, Tracing dan Treatment) serta program vaksinasi yang belum merata di daerah.
Malahan, menurut GMKI, kebijakan Erick Thohir beberapa kali diingatkan secara halus oleh Pak Jokowi, seperti harga PCR yang mahal padahal BUMN Farmasi sudah memproduksi alat PCR sejak tahun lalu, ataupun distribusi obat-obatan penanganan Covid-19 yang dimonopoli industri farmasi besar saja.
“Kita masih ingat ketika Pak Jokowi mengunjungi apotek-apotek kecil di Bogor dan tidak menemukan obat-obatan terapi Covid-19. Ternyata obat-obatan ini kosong dan adanya di Kimia Farma, Century, atau pembelian online melalui Halodoc dan lainnya. Tidak mungkin rakyat kecil bisa mengakses obat-obatan jika distribusinya terbatas,” tegas Prima.
“Airlangga Hartato sebagai penanggung jawab PPKM diluar Pulau Jawa-Bali terlihat lambat dalam merespon penanganan covid-19 di luar Jawa-Bali serta tidak mampu mengkoordinasikan kebijakan strategis dengan pemerintah daerah, justru kami melihat baliho dan billboard Airlangga Hartato didaerah yang meningkat masif”, kata Prima Surbakti yang merupakan Alumni Mahasiswa ITB.
Persoalan lain yang tak kalah penting yakni soal program vaksinasi. Dipaparkan Prima sampai tanggal 31 Agustus 2021, laju distribusi vaksin hanya mencapai 123.5 juta dosis (56,6 persen dari vaksin yang masuk) yang terdiri 9.85 juta vaksin corovac, 89.36 juta vaksin sinovac dari Biofarma, 15.982 juta vaksin astrazeneca, 7.55 juta vaksin moderna dan 500 rbu vaksin sinoparm.
“Suplay vaksin yang lambat serta kualitas vaksin covid-19 adalah penyebab lambatnya laju distribusi,” kata Prima.
PP GMKI mencatat sudah ada 217.9 juta dosis vaksin yang dimpor oleh Indonesia melalui 45 tahapan. Dari vaksin yang masuk, terdapat 5 jenis vaksin diantara 180.7 juta dosis vaksin sinovac (26.8 juta vaksin jadi coronavac, dan 153.9 juga dalam bentuk bahan baku atau bulk), 18.76 juta vaksin astrazeneca, 8.29 juta vaksin sinopharm, 2.6 juta vaksin Fzier, dan 7.5 juta vaksin moderna.
“Artinya vaksin sinovac paling banyak diimpor tapi laju distribusinya hanya mencapai 55 persen. Sedangkan vaksin astrazeneca jauh lebih tinggi yakni 82 persen,” jelas Prima.
Prima juga membandingkan efikasi vaksin sinovac lebih rendah daripada vaksin astrazeneca serta harga vaksin sinovac yang jauh lebih mahal. Berdasarkan hasil uji klinis tahap tiga yang dilakukan di Bandung, efikasi vaksin sinovac mencapai 65,3 persen. Melansir studi efikasi vaksin covid-19, vaksin astrazeneca menunjukkan nilai 70.4 persen dalam mencegah covid-19.
“Yanga disayangkan, harga vaksin sinovac lebih mahal daripada vaksin astrazeneca. Harga vaksin sinovac jadi adalah $ 13.3 per dosis sedangkan harga bulk sinovac adalah $ 11 per dosis. Dalam proses pengelolahan bulk menjadi vaksin, bulk akan menyusut sekitar 10-15 persen. Artinya rata rata harga proses bulk menjadi vaksin adalah $12.84 per dosis. Belum ditambahkan anggaran produksi dan managemen, bisa jadi lebih dari harga beli vaksin. Sedangkan harga produksi vaksin astrazeneca hanya $ 3-4 per dosis,” ungkap Prima.
“Mengapa Ketua KPCPEN, Erick Thohir tetap menyetujui impor vaksin sinovac?” Padahal beberapa peneliti vaksin astrazeneca merupakan ilmuwan dari Indonesia,” lanjut Prima.
PP GMKI mengingatkan Erick Thohir agar berhati hati terkait anggaran impor vaksin yang mencapai 58 triliun. Pasalnya ekonomi negara sedang dalam keadaan sulit, jurang defisit APBN sangat lebar dan utang menumpuk. Selain itu, laju distribusi yang rendah, rentan merugikan keuangan negara.
“Presiden Jokowi harus melakukan evaluasi mendalam. Presiden butuh negarawan yang bekerja diatas kepentingan rakyat bukan kepentingan bisnis,” tutup Prima Surbakti. (*)