beritalima.com – Josep ‘Pep’ Guardiola Sala diboyong oleh Sheikh Mansour bin Zayed Al Nahyan, super miliarder yang juga Wakil Perdana Menteri Uni Arab Emirat, untuk satu tujuan utama: menjadikan mainannya, Manchester City, sebagai juara Liga Champions.
Manchester City kembali ke kasta tertinggi Premier League pada awal abad ke-21, setelah sempat tertatih-tatih di lembah kekelaman, terpuruk hingga level ketiga Liga Inggris. Pada 2008, musim cerah tiba saat Abu Dhabi United Group membeli klub berwarna biru langit itu senilai 210 juta poundsterling. Keluarga kerajaan Emirat mengambil alih Manchester City dari keluarga Thaksin Shinawatra yang mulai kelimpungan taring politik dan pundi-pundi bisnisnya di Thailand.
Duit segar datang, om senang, tante senang, semua senang. Gelar-gelar juara pun mengikuti kedatangan pemain dan pelatih berkelas dunia yang diboyong ke klub utama kota Manchester ini (karena Manchster United disebut sebagai klub utama Kabupaten Manchester). Pasca akuisisi itu, gelar juara Liga Inggris direbut tiga kali, pada 2011/2012, 2013/2014 dan 2017/2018. Piala FA sekali (2011) dan Piala Liga empat kali (2014, 2016, 2018, 2019).
Memang, dahaga gelar juara kompetisi liga terpuaskan karena terakhir ‘The Citizens’ jadi jawara Inggris pada 1968. Tapi, tak satupun dari para manajer City era Sheikh Mansour bisa membawa tim ini melangkah jauh di pentas Liga Champions. Tidak Roberto Mancini dan tidak juga Manuel Pellegrini.
Maka direkrutlah Pep Guardiola. Pria Spanyol ini punya portofolio mentereng di curriculum vitae alias daftar riwayat hidupnya: pernah dua kali membawa Barcelona juara Liga Champions (2009 dan 2011).
Pep pun menyetujui tawaran kerja dari manajer HRD Manchester City. Kontraknya diteken pada 1 Januari 2016 untuk masa kerja mulai musim panas 2016/2017. Pada kesepakatan awal, Pep memperoleh gaji sebesar 15 juta pounds per tahun. All in. Sudah termasuk uang makan, BPJS, gaji ke-13 dan tunjangan hari raya. Ya, kalau 1 pounds senilai Rp 18 ribu maka bapak tiga anak itu mendapat 270 miliar rupiah dalam setahun. Berpatokan pada nilai tukar hari ini, uang segitu bisa untuk membeli 24 juta kilogram beras medium di Pasar Gondangdia, Jakarta Pusat.
Kesempatan pertama membawa City ke ajang Liga Champions 2016/2017 kandas di babak perdelapanfinal. Tersingkir oleh AS Monaco dengan agregat 6-6 tapi kalah gol tandang. Tidak apa-apa, namanya juga baru usaha pertama.
Di musim depannya, 2018, City melangkah lebih jauh sampai ke delapan besar. Tapi, kali ini langkah Pep dijegal tim senegara, Liverpool. Dua kali takluk di kandang dan tandang.
Kata orang, kalau gagal pada kesempatan pertama dan kedua, maka kesempatan ketiga adalah jawabannya. Sepenuh hati, kali ini, Liga Champions 2018/2019, Pep tak mau nestapa lagi.
Penyisihan grup dilalap dengan mudah. City jadi juara Grup F dengan mengangkangi Lyon Perancis, Shakhtar Donetsk Ukraina dan Hoffeinheim 1899 Jerman. Fase 16 besar alias perdelapanfinal pun dilalui enteng. Schalke 04 Jerman dihabisi dengan total selisih gol 10-2.
Capaian 2018 kembali terulang, City menjejakkan kaki ke babak delapan besar. Kali ini lotere dalam bola undian mempertemukan mereka dengan sesama tim Inggris, Tottenham Hotspurs.
Pertemuan pertama di London, City tumbang 0-1. Mereka bertekad membalas dengan selisih kemenangan minimal dua gol di Stadion Etihad.
Kejar-kejaran terjadi. Raheem Sterling membawa City unggul 1-0. Lalu si pemakan ‘kimchi’ Son Heung-Min membalikkan papan skor jadi 1-2 untuk sang tamu. Masih di babak pertama, Bernardo Silva dan Sterling kembali menambah gol sehingga tuan rumah unggul 3-2.
Babak kedua, drama belum kelar. Sergio Aguero memantapkan keunggulan City 4-2. Tapi eh, Fernando Llorente memperkecil kedudukan jadi 4-3. Jika skor ini bertahan, agregat akan sama, 4-4, tapi Spurs diuntungkan karena mencetak gol lebih banyak di kandang lawan.
Babak kedua mendapat tambahan waktu 5 menit. Pada menit ketiga ‘additional time’ itulah, tik-tak antara Sterling, Aguero dan Sterling lagi sukses menjebol gawang Hugo Lloris!
Sterling bersorak kegirangan memutari seperempat lapangan. 55 ribu penonton di kandang City berteriak gembira. Pemain Spurs lemas bergeletakan di tanah.
Tapi, hanya sekedipan mata itulah pestanya. Wasit memutuskan mengecek melalui asisten video (VAR) dan memastikan bahwa pergerakan Kun Aguero terdeteksi offside sebelum mantan menantu Maradona itu kembali memantulkan bola ke Sterling dan menggetarkan jala gawang Spurs.
Pendukung City terpaku. Gagal menerima kenyataan mereka kembali gagal. Admin twitter resmi @ManCity mengetikkan barisan aksara tak bermakna sebagai tanda kekesalan.
City urung ke semifinal. Tak berhasil meningkatkan pencapaian musim lalu. Dan Pep gagal maning pada kesempatan ketiganya membawa City jadi juara liga antarklub Eropa.
Kecewakah Pep? Jelas.
“It is cruel but it is what it is and we have to accept it.
It was a bad end for us, so congratulations to Tottenham and good luck for the semi-finals.”
Kemenangannya serasa ‘dirampok’ di menit-menit akhir. Pahit. Kejam. Tapi, bagi Pep –pria yang menganut keyakinan sebagai ‘non-religious person’ alias tak percaya pada eksistensi Tuhan itu- sportivitas harus dijunjung di atas segala-galanya.
Proteskah ia pada wasit? Pada VAR?
Apakah ia lari ke tengah lapangan dan meneror penyelenggara pertandingan?
Apakah ia menolak hadir di sesi jumpa wartawan?
Atau, apakah ia membuat konferensi pers tandingan dan menyatakan deklarasi bahwa Manchester City lah sesungguhnya tim yang lolos ke semifinal.
Tidak. Ia kalah. Kembali kalah untuk ketiga kalinya. Tapi, dengan jiwa besar seorang ksatria, ia menerima.
“Today is tough and tomorrow will be tough too but the day after we will be ready.”
Karena nama lengkapnya adalah Josep ‘Pep’ Guardiola Sala. Bukan Pep Guardiola Subianto.
(Jojo Raharjo, punya cita-cita gak kesampaian jadi komentator sepakbola di tv)