‘Narasi Politis’ Para Pengadil

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)

Sebuah video pendek dari sebuah group WA hakim itu sepintas terkesan religius sebab berisi pesan yang diklaim dari seorang kiai sebuah pengasuh pesantren ternama. Video yang diberi judul “Petuah Sang Kiai untuk 2024” itu berisi dialog seorang, sebut saja Fulan, dengan sang kiai yang juga diklaim sebagai teman sealumni Fulan sendiri. Si Fulan mengajukan pertanyaan kepada kiai tentang bagaimana harus bersikap pada tahun 2024. Pertanyaan tentang tahun 2024 itu dijawab oleh sang kai denga kalimat “Antum mau pilih yang benar atau yang menang. Kalau pilih yang benar belum tentu menang. Kalau pilih yang menang belum tentu benar.” Dengan diplomatis Fulan pun berusaha mematahkan maksud jawaban kiai yang penuh retorika itu dengan mencoba mencari alternatif jawaban lain yang paling menguntungkan. “Kalau bisa pilih yang benar dan menang kiai,” saut Fulan. Mendengar jawaban yang di luar konteks itu, kiai pun mengklaim bahwa rupanya Fulan itu tidak faham dengan maksud pernyataannya. Kiai itu pun berusaha memberikan contoh jawaban yang tepat dengan mengatakan: “Kalau saya memilih yang benar meskipun kalah”, kata kiai. Kiai pun memberikan alasan pilihannya itu. Menurutnya karena telah memilih yang benar sekalipun pilihannya kalah akan meringankan hisab di akhirat nanti.
Semula yang mendengar tentu tidak paham apa yang dimaksud dengan kalimat “bersikap pada tahun 2024”. Tapi dengan mendengar konteks dialog berikutnya siapa pun akhirnya dapat mengerti bahwa yang dimaksud tahun 2024 tidak lain tentang pemilihan presiden pada pemilu tahum 2024.

Dari dialog tersebut penulis setidaknya menyimpulkan 3 hal. Pertama, bahwa pilpres dianggap sebagai bagian dari keberagamaan seseorang. Atau, dengan kata lain kadar kesungguhan atau tidaknya seseorang mengamalkan ajaran agama, juga ditentukan oleh kesediaan atau tidaknya memilih calon presiden tertentu. Kedua, bahwa pemilihan politik bukan hanya berkonsekuensi tanggung jawab sebagai warga negara tetapi juga tanggung jawab pribadi kepada Tuhan. Ketiga, salah dan benar pilihan politik seseorang akan berakibat pahala atau siksa di akhirat. Oleh karena itu, dialog tersebut tentu sangat tendensius. Terutama jika dikaitkan dengan keberpihakan politik pada pilpres 2024 dengan bakal capres-capres yang ada. Dialog itu jelas berisi upaya menggiring opini siapa pun yang mendengarnya, dengan dalih agama, agar memilih calon (presiden) tertentu. Akan tetapi di balik itu sebenarnya ada sesuatu yang lebih serius dan tidak sehat dari segi pendidikan politik.

Dari sudut internal pengadil, ketika yang bersangkutan membagi-bagikan video dengan narasi yang ada, jelas merupakan ekpresi terbuka sekaligus menunjukkan ke arah mana keberpihakan politiknya. Sebagai seorang PNS, tentu sikap demikian mestinya harus dihindari mengingat adanya sejumlah ‘rambu’ yang berkaitan dengan status dirinya. Bagi seorang pengadil rambu-rambu itu masih harus ditambah dengan kode etik yang secara khusus mengaturnya. Dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim telah dijelaskan, bahwa hakim dilarang berafiliasi dengan partai politik mana pun. Maksudnya, para hakim tidak hanya tidak boleh menjadi pengurus parpol tetapi juga menyatakan dukungannya kepada suatu parpol mana pun. Akan tetapi, pada era kebebasan ini, tampaknya banyak para pengadil sepertinya tidak bisa menahan diri untuk ikut ber-euforia di dunia politik praktis. Pro dan kontra tidak hanya sebatas pada pilihan politik masyarakat tetapi sudah terjadi antar sesama hakim sendiri. Bahkan, dari medsos nyaris dapat disimpulkan bahwa gairah “berpolitik ria”, sering mengalahkan kehurusan menekuni bidang tugas pokoknya sendiri. Yang lebih ironis, banyak para pengadil yang dengan terus terang menunjukkan kebenciannya kepada presiden yang ada. Padahal, ia ini telah terpilih secara konstitusional yang dalam konteks ini, para pengadil harus menghormatinya. Alasannya singkat, karena presiden dan/atau pemerintah saat ini bukan pilihan idealnya. Pada saat yang sama-sama, dengan tidak punya perasaan malu sedikit pun juga menikmati semua kemudahan dan fasilitas yang diberikan oleh negara yang nota bene dipegang oleh pemimpin yang mereka benci bahkan mereka caci maki setiap hari. Mengenai hal ini beberapa waktu lalu, secara khusus, telah pula direspon oleh Kemenpan RB dan telah diapresiasi oleh Ketua Mahkamah Agung pada saat pembinaan tahun lalu.

Setidaknya, mengenai keharusan hakim “bersikap bijak” ini, telah diingatkan oleh salah seorang komisioner Komisi Yudisial (KY). Sebagai pengawas eksternal hakim, ia mengingatkan agar para hakim selalu menjaga independesinya baik di dalam maupun di luar pengadilan. Independensi hakim di dalam pengadilan tentu ditujukkan dengan sikap netral dengan mengadili menurut hukum dan bukan mengadili berdasarkan suku agama maupun rasa tau golongan tertentu. Independensi Hakim di luar pengadilan antara lain agar hakim bersikap arif dan bijaksana, termasuk saat menggunakan media sosial. KY juga menghimbau, agar para hakim jangan sampai tanpa sadar ikut mengirimkan atau membagikan informasi yang memuat kebencian, SARA, serta hoax dan model kampanye negatif. Dan, yang tak kalah pentingnya para hakim juga dilarang menunjukkan kecenderungan perilaku yang menunjukkan keberpihakan kepada calon yang ikut kontestasi pileg maupun pilpres. (Kompas.com, 6 Agustus 2018). Yang demikian demikian tentu dimaksudkan agar kemuliaan profesi hakim tetap terjaga sepanjang hayat ketimbang sekedar kegiatan politik praktis 5 tahunan yang memang bukan ranahnya.

Dari sudut materi dialog, video dengan narasi seperti di atas jelas menunjukkan masih kentalnya eksistensi “politik identitas”. Politik identitas sering dimaknai sebagai sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau lainnya untuk tujuan tertentu. Identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim, yang bertujuan untuk mendapatkan dukungan dari orang-orang yang merasa sama, baik secara ras, etnisitas, agama, maupun perekat lainnya. Dalam konteks dunia perpolitikan nasional, praktik politik demikian kini ditentang banyak pihak karena dianggap membahayakan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memang multi etnis ras, dan agama ini. Sebagai bagian dari warga negara, para pengadil mutlak mempunyai wawasan demikian yang di era Orde Baru populer dengan istilah “wawasan nusantara”.

Terlepas adanya pro dan kontra keberpihakan politik sebagai partisipasi politik, para pengadil harus menyadari adanya rambu-rambu internal yang ada di atas. Yang juga tidak kalah pentingnya juga harus selalu menyadari konsekuensi, ucapan, sikap dan tindakan yang bernuansa politik. Berapa waktu lalu banyak orang diadukan ke polisi akibat ucapannya yang menyinggung orang lain atau kelompok tertentu. Dengan fenomena tersebut lahirlah jargon “mulutmu adalah harimaumu”. Di era medsos ini yang menjadi hari mau itu bisa saja bukan hanya mulut, tetapi jari juga jemari kita. Maraknya oknum pengadil yang punya hobi nyinyir kepada pemerintah telah pula diingatkan, secara tidak langsung, oleh salah seorang mantan Hakim Agung. Pada intinya beliau menghimbau agar hakim yang sudah biasa bekerja (membuat keputusan) berdasarkan bukti-bukti, tidak mudah percaya dengan berita yang belum jelas kebenarannya apalagi menyebarkannya. Atau, kita tunggu saja sampai suatu saat ada hakim yang dilaporkan polisi karena sering ikut-ikutan menyebarkan hoax (berita bohong). Save and love your profession!

BIO DATA PENULIS
Nama : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP : 19621015 199103 1 001
Pangkat, gol./ruang : Pembina Utama Madya, IV/d
Pendidikan : S-1 Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga 1988
S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001
Hobby : Pemerhati masalah-masalah hukum, pendidikan, dan seni;
Pengalaman Tugas : – Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
-Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004
– Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007
– Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A 2008-2011
– Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas IA 2011-2016
– Hakim Pengadilan Agama Lumajang Klas IA 2016-2021
– Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A 2021-2022.
Sekarang : Hakim Tinggi PTA Jayapura, 9 Desember 2022- sekarang

Alamat : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi
Alamat e-Mail : asmui.15@gmail.com

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait