Nasib Relawan Covid-19 di Ponorogo Terkatung Katung

  • Whatsapp

PONOROGO, beritalima.com- Pandemi Corona yang telah memasuki tahun kedua, masih meninggalkan masalah yang kurang nyaman didengar. Polemik status zona sudah mulai reda dari perbincangan di dunia medsos maupun di masyarakat. Warna Merah, Oranye atau Kuning di Kabupaten Ponorogo, dipandang sangat mempengaruhi psikis masyarakat luas.

Hal ini sangat berdampak pada kegiatan sosial kemasyarakatan secara umum. Sebagai contoh peresmian Pasar Legi yang beberapa waktu yang lalu dibandingkan dengan kegiatan hajatan yang diselenggarakan oleh warga masyarakat sangat bertolak belakang. Ada kesan pemaksaan kehendak tertentu dengan mengabaikan Standar Operasional Prosedur (SOP) Protokol Kesehatan.

Dari sisi kelam dampak pandemi yang terabaikan adalah nasib para relawan mandiri yang bertugas membantu pemulasaraan jenasah terpapar Covid-19. Yang mana keberadaan mereka sangat dibutuhkan oleh pemerintah maupun masyarakat khususnya.

Tahun pertama pandemi ini, tugas dan tanggung jawab pemulasaran jenasah terpapar covid-19 adalah dari Dinas Kesehatan. Namun mulai bulan Februari 2020 wewenang tersebut dilimpahkan kepada Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).

Pada masa transisi peralihan ini, bertepatan pula dengan peralihanan pucuk kepemimpinan Pemerintah Ponorogo dari Ipong Muchlisoni ke Sugiri Sancoko, masalah relawan pun masih terdapat polemik yang belum jelas penyelesaiannya. Permasalahan insentif relawan pun menjadi terkatung-katung.

Berawal dari bulan November dan Desember 2020, relawan mandiri yang berbasis dari tukang ojek, kuli bangunan, tukang becak, bakul angkringan dan rata-rata mereka sudah berkeluarga mempunyai kepedulian tinggi terhadap penanganan jenasah terpapar.

Disamping itu, dengan diberlakukannya PSBB ketika itu mereka sangat terdampak sumber penghasilan keluarganya.

Ketika para relawan mandiri tersebut di bawah wilayah Dinas Kesehatan, sejumlah tantangan dan cibiranpun selalu menjadi sarapan setiap harinya. Mulai dari isu relawan tukang target sampai dengan relawan mata-mata asing.

Insentif yang diterimapun masih tergolong rendah dibandingkan dengan resiko tanggung jawabnya. Yaitu dinilai seratus ribu rupiah untuk satu kali penanganan kasus jenasah.

Menurut Arim Kamandaka, Pegawai BPBD Kabupaten Ponorogo, yang getol terlibat aktif penanganan relawan ini, menuturkan, sampai saat ini Ponorogo mempunyai tiga grup relawan aktif. Terdiri dari Relawan dari Muhammadiyah yang men-cover RSIB. Aisyiyah dan RSU Muhammadiyah dalam satu grup. Dua grup lainnya menangani penanganan jenasah dari RSUD Hardjono maupun RS. Muslimat atau yang lainnya. Sedangkan setiap grup terdiri dari enam orang relawan.

“Jika di dalam satu hari kebetulan ada kasus yang meninggal 4 atau 5 orang, maka akan kewalahan menangani hal tersebut. Sedangkan fakta di lapangan hampir 50% desa/kelurahan tidak mempunyai relawan khusus. Hal ini diperparah dengan relawan-relawan tersebut harus berangkat dengan modal kendaraan sendiri serta ongkos sendiri. Meskipun mereka harus mengirim jenasah ke Ngrayun dan dilanjutkan ke Sawoo misalnya,” ucapnya.

Salah satu kasus di Kelurahan Kepatihan, ada jenasah terpapar covid-19 yang tidak memenuhi Standar Operasional Prosedur dan tidak ada relawan yang terlibat dalam proses pemakaman tersebut. Tarik ulur kepentingan bercampur rasa takut juga terlihat jelas. Walaupun pada akhirnya dengan modal nekat keluarga korban bersama masyarakat setempat memberanikan diri mengurus pemulasaraan jenasah tersebut.

Agung Samudro, salah satu Ketua RT memberikan keterangan, bahwa kebersamaan dan gotong royong dalam masyarakat harus selalu dikedepankan.

“Jadi jika ada jenasah diharapkan tidak merasa takut dan khawatir yang berlebihan. Yang penting mengikuti himbauan dan saran dari pihak terkait, inshaallah aman,” tuturnya.

Lebih lanjut Agung menuturkan, pihak keluarga harus membayar lima ratus ribu rupiah untuk biaya pemakaman dan satu juta rupiah biaya perawatan. (*).

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait