JAKARTA, Beritalima.com– Rancangan Undang-undang (RUU) larangan Minuman Beralkohol (Minol) diajukan berdasarkan aspirasi dari masyarakat. Hal itu terungkap dalam Forum Legislasi bertema ‘Pro Kontra RUU Larangan Minol’ yang digelar secara virtual kerjasama Koordinatoriat Wartawan Parlemen dengan Biru Humas dan Pemberitaan DPR RI dengan nara sumber anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Muhammad Nasir Djamil dan Antropolog Universitas Indonesia (UI), Raymond Michael, Selasa (24/11) petang.
RUU Minol tersebut sudah dibahas Baleg DPR RI 2014-2019. Namun, Baleg tidak mampu menyelesaikannya menjadi UU. Menurut Nasir, RUU Minol kembali muncul. Dan, itu berdasarkan aspirasi masyarakat. Seperti ormas, umat Islam dan organisasi keagamaan lainnya yang disampaikan ke DPR RI.
Dikatakan wakil rakyat dari Dapil I Provinsi Aceh tersebut, RUU Minol tentu tidak bakal menyasar kepada kearifan lokal, adat-istiadat dan tradisi yang sudah berlangsung di masyarakat selama ini. Setidaknya menjadi payung hukum di tengah berserakannya aturan Minol tersebut.
“Jadi, mengingat aturan Minol ini masih berserakan; ada di Kementerian Perdagangan, Kementerian Kesehatan, Perda dan lains sebagainya, maka perlu payung secara nasional demi terwujudnya ketertiban dan keamanan masyarakat,” kata politisi senior ini.
Diakui Nasir, jika RUU ini sudah dibahas pada lima (5) tahun lalu, dan gagal karena pandangan fraksi-fraksi yang berbeda. Sehingga dengan munculnya RUU Minol saat ini dia minta tak saling menyalahkan karena bertujuan baik dan bisa diterapkan untuk ketertiban dan keamanan masyarakat.
“Kami sudah meminta bantuan Baleg untuk membuat naskah akademik, dan Fraksi PAN melalui jubirnya Ali Taher Parasong mendukung RUU ini. Setidaknya dengan RUU Minol ini ada aturan untuk pengendalian dan penggunaannya agar tidak disalahgunakan masyarakat,” kata dia.
Dikatakan, ada 13 daerah dan 2 provinsi yang sudah membuat Peraturan Daerah (Perda) terkait Minol ini, seperti Papua, Kalimantan Selatan, Jambi, Banjarmasin dal lain-lain. Karena itu, ia berharap RUU Minol ini bisa dibahas, disahkan dan diterima masyarakat, tanpa mengabaikan keberagaman, adat, tradisi, budaya dan sebagainya,” tutur Nasir.
Sedangkan Raymond berharap DPR RI sebagai wakil rakyat memahami Pancasila itu secara utuh dari kelima sila. “Jangan hanya Ketuhanan Yang Maha Esa saja karena Indonesia ini beragam agama, etnis, suku, adat dan sebagainya.
Kalaupun usulan baru, maka harus dengan naskah akademik yang baru. Bukan yang 5 tahun lalu, dan tentu dengan data dan hasil survei yang baru. “Sebab, kalau hanya pengendalian sudah diatur di Permendag No.120 tahun 2018, Perda Nomor 8 Tahun 2015, dan lain-lain,” tutur Raymond. (akhir)