Dedy Hariyadi Sahrul
Masyarakat kita sangat reaktif dalam menyikapi berbagai informasi yang masih dangkal kejelasannya. Hanya berdasarkan tayangan beberapa menit tentang kapal berbendera Tiongkok yang ditengarai masuk kedalam wilayah kedaulatan Republik Indonesia serta beberapa menit tayangan konferensi pers dari Menlu Retno Marsudi tentang protes pemerintah RI terkait kejadian itu, masyarakat sontak bergejolak. Komentar merekapun bernada keras, menghujat bahkan tak jarang juga mengkritik pemerintah RI yang mereka nilai tak tegas menyikapi pencurian ikan oleh nelayan Tiongkok yang dikawal oleh _coast guard_ mereka ke Zona Ekonomi Ekslusif dimana Indonesia memiliki hak berdaulat.
Lalu, apa yang bisa kita simpulkan dari beberapa menit visualisasi yang hanya menggambarkan sebuah kapal nelayan berbendera Tiongkok dengan kawalan kapal penjaga pantai yang juga berbendera Tiongkok yang berada tak jauh dari Kapal Republik Indonesia (KRI). Tapi nyatanya kesimpulan-kesimpulan itu kini banyak mewarnai media sosial dan bahkan media-media _online_. Inilah yang menurut penulis masyarakat kita berada dalam kondisi yang sangat krisis literasi komunikasi. Terutama komunikasi publik.
Dari segi aspek komunikasi, terutama komunikasi publik, masyarakat kita mudah sekali memberikan pembenaran berbekal informasi minim, dangkal dan terkadang justru diluar persoalan yang sebenarnya. Informasi cepat walau terkadang sepotong-sepotong seringkali diminati dan disukai walau kadang menimbulkan ekses negatif bahkan korban baik itu korban nama baik maupun korban jiwa.
Wajar kalau pemerintah terkadang kewalahan menentukan pola komunikasi publik yang efektif dan diterima secara menyeluruh oleh masyarakat. Antara konsep, tujuan program komunikasi kadang terdistorsi begitu sampai kepada masyarakat. Dalam kondisi ini, teori _Uses and Gratification_ yang dijelaskan oleh Blumer dan Katz pada 1974 silam barangkali ada benarnya. Masyarakat dengan segala pengaruh lingkungan serta afiliasi kelompoknya dipandang sebagai individu yang aktif, selektif dan memiliki tujuan tertentu terkait dengan terpaan media kepadanya. Kondisi ini merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintah.
.
Namun, tidak hanya menjadi tugas pemerintah saja, demi kemaslahatan bersama, masyarakat juga perlu meluangkan waktu lebih banyak untuk mencari informasi yang lebih utuh. Disini, penulis tidak berusaha untuk mengulas detail persoalan sengketa Laut China Selatan (LCS) dan Pulau Natuna yang saat ini digambarkan sederhana, “Kapal nelayan Tiongkok yang dikawal penjaga pantainya masuk untuk mengeruk kekayaan laut kita terutama menguasai pulau Natuna”. Visualisasi ini seolah menjadi panggilan untuk melakukan bela negara. Sesederhana itu kadang publik membaca persoalannya.
Persoalan di LCS bukanlah persoalan yang baru saja terjadi. Telah lama lima negara saling mengklaim kedaulatan di wilayah tersebut. Kelima negara tersebut antara lain Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina dan tentunya Tiongkok. Dimana letak sengketanya? Banyak titik. Sebut digugusan pulau Spratley dan paracel
Di gugusan pulau-pulau Spratley terdapat 140 bentukan alamiah dengan jumlah pulau kecil kurang dari 40 dan sisanya adalah batuan, karang, dan pasir yang sebagian ada yang berada di bawah permukaan air. Brunei, Tiongkok, Filipina, Malaysia, dan Vietnam mengklaim kepemilikan atas pulau-pulau Spratley. Sementara di gugusan pulau-pulau Paracel terdapat 35 bentukan alamiah dengan pulau-pulau sangat kecil, batuan, karang, dan onggokan pasir. Tiongkok dan Vietnam mengklaim semuanya, sementara Brunei, Filipina, dan Malaysia tidak mengklaim, tanpa alasan yang jelas.
Ada yang berpandangan bahwa ini adalah rebutan sumur minyak atau soal batas laut atau ekspansi wilayah. Inti pokok masalah ini adalah perebutan kepemilikan pulau-pulau, batuan, karang, dan beting pasir di tengah laut di gugusan pulau-pulau Spratley dan Paracel.
Semua pulau Indonesia dan wilayah kedaulatan Indonesia tidak ada yang menjadi bagian dari sengketa Spratley dan Paracel. Sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Deklarasi Djuanda 1957, dan berlakunya UNCLOS 1982, Indonesia juga tidak pernah berpikir menjadi salah satu negara pengklaim atau _claimant state_ ratusan obyek di tengah lautan yang berjarak hingga 1.500 mil laut dari salah satu pulau terluarnya itu.
Bagaimana dengan peta sembilan titik yang diterbitkan Tiongkok? Peta ini bukan satu-satunya peta klaim yang ada di perairan LCS dan perairan ZEE Indonesia. Paling tidak ada dua peta lainnya, yaitu peta Malaysia 1979, dan peta Perjanjian Paris 1898 yang kemudian dianggap tidak berlaku karena telah ada rezim hukum laut baru yang disepakati bersama, yakni Konvensi Hukum Laut PBB (_United Nations Conventions on the Law of the Sea_) 1982. Pun demikian dengan peta berisi Sembilan Garis Putus yang diklaim oleh Tiongkok ditarik dari tengah LCS hingga masuk ke wilayah ZEE Laut Natuna Utara. Klaim ini dinilai tidak memiliki dasar hukum yang berlaku karena hanya didasarkan pada sejarah bahwa wilayah tersebut adalah jalur pelayaran nelayan tradisional Tiongkok. Bahkan, tahun 2016, Mahkamah Arbitrase Internasional memutuskan menolak klaim Sembilan Garis Putus-Putus di kawasan LCS.
Kembali ke soal dugaan pelanggaran kedaulatan RI oleh Tiongkok, ada beberapa hal yang perlu dipahami secara utuh oleh masyarakat. Pertama, mengutip pendapat pakar hukum laut Arif Havas Oegroseno, jelas bahwa posisi Indonesia sangat kuat. Indonesia bukan negara claimant kawasan LCS. Titik-titik dasar dan garis pangkal negara kepulauan, termasuk di pulau-pulau di Natuna, telah didaftarkan ke Sekjen PBB tanpa protes negara mana pun. Selain itu, penolakan Peradilan Internasional terhadap peta-peta klaim sepihak menjadi dasar kuat dalam hukum positif internasional dan juga praktik negara. Terlebih lagi, hukum delimitasi batas maritim telah mengakui alokasi hak berdaulat Indonesia dengan Vietnam dan Malaysia di landas kontinen di Laut Tiongkok Selatan. Perjanjian dengan Malaysia bahkan sudah berusia 45 tahun dan juga tak pernah diprotes negara mana pun. Kedua, yang perlu dipahami oleh masyarakat adalah, bahwa nelayan Tiongkok masuk dan mencuri ikan di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang menjadi hak berdaulat Indonesia. ZEE merupakan bagian dari laut lepas yang berada pada 200 mil diluar garis pangkal negara pantai. Garis pangkal sendiri merupakan garis yang ditarik dari bagian terluar wilayah RI sebagai negara pantai. Negara yang tidak memiliki hak pengelolaan sumber daya alam di ZEE dilarang memanfaatkan sumber daya alam yang berada diatasnya tanpa izin. Jadi dalam hal ini, bila mengutip pendapat Guru Besar Hukum Internasional UI Prof. Hikmahanto Juwana yang wajib dilakukan oleh aparat Indonesia adalah melakukan penegakan hukum terhadap tindak kriminal bukan mengangkat senjata untuk penegakan kedaulatan.
Bagaimana peran TNI? Berkaca pada kasus serupa di Perairan Ambalat, Tahun 2007 penulis sempat menulis polemik Rule of Engagement (Aturan Pelibatan) yang berlaku saat itu berdasarkan Surat Keputusan Panglima TNI Nomor : Skep/158/IV/2005 tanggal 21 April 2005 tentang Aturan Pelibatan unsur TNI AL di wilayah perairan Kalimantan Timur perbatasan RI-Malaysia di masa damai, mengharuskan TNI AL pada bersikap banyak mengalah pada kondisi tersebut, baik dalam menghadapi niat permusuhan (Hostile Intent) maupun menghadapi tindakan permusuhan (Hostile Act). Dalam aturan itu pihak TNI AL hanya boleh melepaskan tembakan setelah diawali keluarnya tembakan dari pihak Malaysia terlebih dahulu. Sedangkan prajurit yang bertugas umumnya menginginkan revisi aturan tersebut dimana KRI diperbolehkan mengeluarkan tembakan terlebih dahulu sebagai tindakan peringatan atas kapal-kapal Malaysia yang kerap kali melanggar.Dalam setahun ada 30-an pelanggaran yg dilakukan oleh Kapal Malaysia waktu itu. Entah SKEP itu masih berlaku ataukah sudah dicabut.
Dulu kanal media tidak sebanyak sekarang. Penulis membayangkan jika SKEP itu dikeluarkan saat ini, pasti respon netizen akan lebih “ekstrem” lagi. Mungkin Presiden harus bersusah payah lagi memberikan klarifikasi terkait SKEP tersebut.
Terakhir, terlepas dari teori uses and gratification yang menjelaskan bahwa khalayak hanya mengkonsumsi informasi dan dari media yang mereka mereka inginkan saja, mereka tetap perlu mengedepankan literasi informasi. Agar tidak membuat kondisi makin buruk dan mengaburkan inti permasalahan di kawasan Natuna Utara, sudah saatnya kita kritis terhadap terpaan informasi yang tidak utuh dan tidak jelas sumbernya terutama dari media sosial. Dengan makin berkembangnya mesin pencari data baik berupa narasi maupun gambar, tak sulit bagi kita untuk melakukan cek dan ricek terhadap kebenaran sebuah informasi. Hanya butuh sedikit waktu dan kuota internet saja untuk membuat terang informasi yang tak jelas.
Sementara itu, dari sisi pemerintah, komunikasi publik tentang pelanggaran hukum di laut Natuna Utara perlu dilakukan seterang mungkin dengan bahasa yang sesederhana mungkin. Tujuannya agar tidak hanya pakar hukum saja yang mampu memahami duduk perkara di laut Natuna Utara, namun juga masyarakat awam dapat mengkonsumsi informasi tersebut dengan mudah sehingga potensi krisis yang tidak perlu dapat dihindari sedini mungkin.
Masyarakat yang kaya literasi komunikasi akan bisa menilai apakah informasi tersebut faktual, isu(hoax), ataukah sekedar pengalihan isu?.
* Penulis adalah Kabid Komunikasi GPII dan Advokat dibidang hukum Kemaritiman