Palembang, beritalima.com| – Di era serba cepat dan penuh tantangan saat ini, dunia pendidikan dituntut untuk tidak sekadar menjejalkan hafalan, melainkan melatih siswa agar mampu berpikir kritis, kreatif, dan adaptif. Konsep belajar yang hanya berpusat pada guru perlahan mulai ditinggalkan.
Sebagai gantinya, lahirlah pendekatan pembelajaran yang lebih holistik, interaktif, dan dekat dengan realitas kehidupan sehari-hari. Salah satu pendekatan yang kini sedang ramai dibicarakan adalah STEAM – akronim dari Science, Technology, Engineering, Arts, and Mathematics.
STEAM pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat sebagai pengembangan dari konsep STEM. STEM sendiri awalnya dipopulerkan oleh National Science Foundation (NSF) pada awal 2000-an untuk memperkuat pendidikan sains, teknologi, rekayasa, dan matematika. Namun, pada 2006, Georgette Yakman, seorang pendidik asal Virginia, menambahkan unsur seni (Arts) agar pembelajaran lebih kreatif dan humanis. Dari sinilah lahir istilah STEAM yang kini banyak diadopsi di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Dari Riset Mini: Menumbuhkan Rasa Ingin Tahu
Pintu masuk utama dalam pembelajaran berbasis STEAM biasanya dimulai dari sebuah pertanyaan sederhana. Pertanyaan bisa muncul dari pengalaman sehari-hari siswa: mengapa lampu bisa menyala, mengapa es mencair lebih cepat di luar kulkas, atau bagaimana caranya membuat mainan sederhana bergerak tanpa baterai. Dari rasa ingin tahu inilah, siswa diajak untuk melakukan riset mini.
Riset mini dalam konteks STEAM bukanlah penelitian rumit dengan laporan tebal layaknya mahasiswa tingkat akhir. Justru riset ini dirancang agar dekat dengan dunia anak, ringan dilakukan, tetapi sarat makna. Misalnya, siswa diminta mengamati proses menanam biji kacang hijau di kapas basah. Dari situ, mereka mencatat pertumbuhan setiap hari, membandingkan perbedaan antara tanaman yang mendapat cahaya dan yang diletakkan di tempat gelap. Proses sederhana ini sudah melatih keterampilan ilmiah: mengamati, mencatat, menganalisis, hingga menarik kesimpulan.
Lebih jauh, riset mini menjadi titik awal memupuk rasa tanggung jawab. Anak belajar bahwa ilmu tidak datang begitu saja, tetapi harus dicari melalui usaha, ketekunan, dan ketelitian. Dengan demikian, riset kecil yang mereka lakukan akan menjadi fondasi kokoh untuk riset yang lebih besar di masa depan.
Sampai Bikin Karya: Ilmu yang Menyatu dengan Kreativitas
STEAM tidak berhenti pada tahap mengulik atau meneliti. Hasil dari riset mini kemudian diolah menjadi sebuah karya nyata. Inilah salah satu daya tarik STEAM: menghubungkan teori dengan praktik, data dengan kreativitas, serta ilmu pengetahuan dengan kehidupan sehari-hari.
Ambil contoh proyek membuat mobil mini tenaga balon. Dari sisi science, siswa memahami konsep tekanan udara. Dari sisi technology dan engineering, mereka merancang bentuk mobil sederhana dari bahan daur ulang. Dari arts, mendesain mobil itu agar menarik dan estetik. Dari mathematics, mereka menghitung jarak tempuh mobil dan membandingkan dengan desain yang berbeda. Hasil akhirnya bukan sekadar mainan, tetapi sebuah karya interdisipliner yang sarat pembelajaran.
Karya dalam STEAM tak harus selalu berupa benda fisik. Ia bisa berupa poster edukatif, video pendek, hingga pertunjukan drama yang memadukan konsep sains dengan seni peran. Yang terpenting, siswa diberi ruang untuk menuangkan imajinasi dan menerapkan ilmu yang mereka peroleh secara nyata.
Mengapa STEAM Penting?
Ada beberapa alasan mengapa pendekatan STEAM kian diterapkan di sekolah-sekolah Indonesia. Pertama, Menjawab Tantangan Abad 21. Dunia saat ini tak hanya membutuhkan orang pintar secara akademis, tapi juga individu yang mampu berpikir kritis, berkolaborasi, berkomunikasi efektif, dan berkreasi. STEAM menyediakan wadah untuk melatih empat keterampilan itu dalam satu paket.
Kedua, Mendorong Kolaborasi. STEAM menuntut kerja sama. Siswa tidak bisa menyelesaikan proyek sendirian; mereka harus berbagi tugas, berdiskusi, bahkan berdebat sehat. Hal ini membiasakan mereka untuk menghargai pendapat orang lain dan belajar menemukan solusi bersama.
Ketiga, Mendekatkan Ilmu dengan Kehidupan Nyata. Tak jarang siswa mengeluh bahwa pelajaran di sekolah terasa jauh dari realitas. Melalui STEAM, siswa justru diajak menghubungkan ilmu dengan hal-hal yang mereka alami sehari-hari. Dari sini, lahirlah kesadaran bahwa belajar itu bukan sekadar memenuhi kewajiban, tetapi kebutuhan hidup.
Empat, Membangun Rasa Percaya Diri. Ketika siswa berhasil menyelesaikan proyek—meski sederhana—ada rasa bangga yang tumbuh dalam diri mereka. Perasaan ini menjadi energi positif untuk terus belajar dan berinovasi.
Meski menawarkan banyak manfaat, penerapan STEAM bukan tanpa hambatan. Karena, masih banyak guru merasa kesulitan mengintegrasikan lima bidang ilmu tersebut dalam satu kegiatan. Kedua, keterbatasan fasilitas di sekolah sering kali membuat proyek STEAM sulit dilakukan. Ketiga, mindset siswa maupun orang tua yang masih berorientasi pada nilai ujian sering menjadi penghalang bagi pembelajaran berbasis proyek dan kreativitas.
Namun, tantangan ini bukan alasan untuk mundur. Justru, inilah momen bagi dunia pendidikan untuk berbenah. Guru perlu diberikan pelatihan, sekolah perlu berinovasi memanfaatkan bahan sederhana, dan orang tua perlu disadarkan bahwa belajar itu tidak melulu soal angka di rapor, melainkan keterampilan hidup yang akan berguna sepanjang hayat.
Ngulik ilmu ala STEAM pada dasarnya adalah sebuah ajakan memandang pendidikan secara lebih luas dan menyeluruh. Dari riset mini sederhana hingga karya nyata kreatif, siswa tak hanya menguasai teori, tapi juga belajar bagaimana teori itu bekerja dalam kehidupan.
Melalui STEAM, kita sedang membentuk generasi yang bukan hanya pintar di atas kertas, tetapi juga gesit menghadapi masalah nyata, berani mencoba, dan mampu menciptakan solusi kreatif. Generasi inilah yang kelak akan menjadi motor penggerak bangsa di tengah derasnya arus globalisasi.
Maka, mari kita dukung penerapan STEAM di ruang-ruang kelas, bukan sekadar sebagai metode pembelajaran baru, melainkan sebagai cara berpikir baru. Sebab pada akhirnya, pendidikan bukan hanya tentang mengisi kepala dengan pengetahuan, tetapi juga tentang bagaimana pengetahuan itu bisa diolah menjadi karya yang memberi manfaat bagi sesama.
(Penulis: Chintya Valensia, Esti Susiloningsih, Dwi Cahaya Nurani, dari Prodi Pendidikan Guru Sekolah DasarFakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sriwijaya, Palembang, Sumsel, 2025).






