Nilai Lokal Tidak Ditransformasi Penyebab Kegagalan Pembangunan

  • Whatsapp

Oleh: Dr. Ferawati Azis, M.Pd

Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jeneponto

Kebudayaan bagian penting dalam proses pembangunan baik fisik terlebih kepada pembangunan manusia (human development).

Kebudayaan terkait persoalan karakter dan mental manusia yang jadi salah satu penentu keberhasilan pembangunan.

Pembangunan adalah suatu upaya terencana untuk merubah wilayah dan masyarakat diartikan perubahan masyarakat yang berlangsung secara terus menerus sehingga mampu mewujudkan kesejahteraan secara optimal.

Pembangunan tidak diikuti dengan asupan transformasi, maka tidak sesuai harapan konsep dari pembangunan itu sendiri.

Melalui transformasi nilai-nilai budaya kelokalan maka harapan dari substansi pembangunan itu dapat tercapai.

Transformasi budaya dalam pembangunan manusia sangatlah urgen baik itu pada tingkat pusat maupun tingkat lokal.

Salah satu penyebab terjadinya kemunduran pembangunan disebabkan aspek kultur. Kultur yang mengandung nilai-nilai luhur dan kearifan lokal sebagai perekat dalam pembangunan.

Satu diantara penyebab kegagalan pembangunan di Indonesia karena nilai budaya lokal tidak ditransformasi, meskipun memiliki keberagaman budaya yang kaya.

Salah satu daerah memiliki kenekaragaman budaya adalah Kabupaten Jeneponto. Nilai-nilai budaya daerah ini yang khas dan memiliki ciri adalah budaya siri’ na pace.

Budaya siri na pace tersebut merupakan nilai budaya yang sudah lama ada di daerah simbol kuda tersebut mengandung nilai agung yang tinggi.

Namun dalam perjalanannya nilai-nilai budaya tersebut sudah mulai tergerus seiring perkembangan zaman.

Pergeseran nilia-nilai budaya lokal tersebut tentunya membawa dampak sosial terhadap pembangunan khususnya human development.

Pembangunan Manusia dalam paradigma kultur sebagai penyebab terjadinya kemunduran diperlukan transformasi sosial kultur sebagai alat/daya dorong dalam mengubah kehidupan masyarakat untuk dapat hidup sejahtera.

Salah satu nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan sebagai transformasi nilai-nilai budaya untuk menjadi pedoman masyarakat untuk bertindak dalam menghadapi berbagai permasalahan dan dinamika kehidupan social yaitu adalah :

Transformasi Nilai Lokal

Ada tiga pola budaya umum dapat menjadi salah satu pijakan dalam bertindak, Abu Hamid (2003) menjelaskan ketiga itu yakni : budaya bersalah (guilt-culture), budaya rasa malu (shame-culture) dan budaya takut akhir (fearand-culture).

Maknah budaya rasa bersalah (guil-culture) apabila diterapkan pada masyarakat dan dunia kerja maka dapat menciptakan etos sosial, bahwa rasa bersalah sebagai pendorong pemenuhan kehidupan khususnya dan pendorong pembangunan pada umumnya.

Pada konsep masyarakat tidak mampu rasa pendorong yang tidak lagi bergantung dan menerima nasib apa adanya dan menganggap bahwa ketidakberdayaan adalah sesuatu yang wajar.

Ada rasa bersalah bahwa budaya berlangsung ditengah-tengah keluarga agar memutus mata rantai agar tidak menjalar dan menjelimat proses kemiskinan kepada anak cucu mereka mengacu pada hasil penelitian pada komunitas nelayan di Kecamatan Arungkeke.

Pada konsep dunia kantor dan karyawan swasta rasa bersalah menimbulkan etos kerja maka dapat dijadikan sebuah pijakan dalam bertindak dan mengerjakan sesuatu sehingga meningkatkan kinerja dan tanggung jawabnya sebagai aparat maupun karyawan yang berdedikasi.

Maknah budaya rasa malu (shame culture) dapat dijadikan sebagai dorongan berprestasi dan menumbuhkan kreativitas dalam kehidupan. Budaya rasa malu yang dapat di tafsirkan sebagai Siri’ disatukan sebagai budaya rasa malu untuk memacu keberhasilan dalam pembangunan.

Siri sebagai filosofi agung pada bumi Turatea dapat dijadikan sebagai pijakan dan dasar bahwa harus memiliki nilai-nilai siri, dijadikan dasar bangkitnya etos sosial dan etos kerja yang dinamik.

Makna budaya rasa malu tersebut ketika diterapkan pada komunistas nelayan atau pedesaan tertinggal dapat dijadikan pijakan untuk dapat keluar dari kondisi kerentanan dan kemarginalan.

Rasa malu atau siri’ bukan dalam prioritas perilaku tradisi pesta atau hajatan yang dianggap sakral dan urgensi bagi masyarakat yang berpendapat.

Bahwa kegiatan perayaan maupun menghadiri undangan pesta bagi mereka adalah suatu keharusan (manna anre niaja yang berarti biar tidak ada pasti ada dengan jalan mengutang meskipun itu berbunga), hasil penelitian pada komunitas nelayan di Arungkeke Jeneponto.

Perilaku masyarakat nelayan ini perlu mengadopsi pada prinsip budaya rasa malu atau siri’ sebagai dasar bangkitnya etos sosial dan etos kerja untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.

Begitupun ketika diterapkan pada lingkungan kantor maupun swasta sebagai pilar rasa dalam bertindak yang mengedepankan tanggung jawab dan disiplin kerja sehingga berdampak pada perubahan social yang mendorong pembangunan baik fisik maupun non fisik.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *