Dr. Lia Istifhama, MEI., Wakil Sekretaris MUI Jatim
Seperti diketahui, Bulan Syaban merupakan satu dari empat bulan mulia bagi umat Islam. Selain sebagai bulan diangkatnya atau dicatatnya amal dan bulan memuliakan Ramadan, bulan Syaban pun memiliki sejarah penting, yaitu pemindahan kiblat ke Kakbah (Makkah) dari semula menghadap Baitul Maqdis atau Masjid Al Aqsa (Palestina).
Dijelaskan dalam buku ‘Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad’ Karya H. Munawar Chalil 1960 halaman 201, dijelaskan tentang sejarah perpindahan kiblat.
Bahwa saat itu, Nabi Muhammad SAW sejak hijrah ke Madinah, apabila mengerjakan salat menghadap ke arah Baitul Maqdis (Palestina) sampai kurang lebih 17 bulan lamanya, sebelum akhirnya mendapat perintah menghadap ke arah Baitul Haram (Ka’bah, Makkah).
Pada saat itu, kondisi kota Mekah sedang berada dalam zaman kegelapan, yang mana para penduduknya menganut kepercayaan paganisme (menyembah berhala). Bahkan pada saat itu, Ka’bah dijadikan pusat peribadatan dengan diisi banyak berhala, diantaranya berhala paling besar yang dinamai Hubal. Sebaliknya, kota Yatsrib (Madinah), berhuni penduduk yang sudah mengenal agama, diantaranya ialah Kabilah Bani Najran (Nasrani) dan Kabilah Bani Quraidzah (Yahudi).
Menurut riwayat, pada kondisi Makkah dan Madinah seperti itu, Nabi Muhammad SAW baru saja hijrah di Madinah, menunaikan shalat menghadap ke Baitul Maqdis. Meski sebelumnya, saat di Makkah, Rasulullah dan para Sahabat menunaikan salat menghadap kiblat ke arah Ka’bah yang berada di Masjidil Haram Mekah.
Adapun alasan Rasulullah shalat menghadap Baitul Maqdis saat di Madinah, adalah bertujuan menghargai kaum Nasrani dan Yahudi yang mana keduanya beribadah menghadap ke Baitul Maqdis (Palestina).
Adapun Baitul Maqdis yang di dalamnya terdapat Masjidil Aqsa, merupakan wilayah yang sangat kuat nilai historisnya. Konon, Baitul Maqdis pernah berada dalam kekuasaan Kaisar Romawi Konstantin yang memeluk Nasrani (325 M). Saat itu, kaum Yahudi-Nasrani seringkali mengalami pertentangan akibat sifat kaum Yahudi yang ingin memonopoli, terutama perdagangan, bahkan Yahudi menjadi rentenir atas hutang kaum Nasrani.
Sedangkan pada 638 M, Baitul Maqdis berada dibawah pemerintahan Khalifah Umar. Satu ketika, Khalifah Umar mengunjungi Gereja Holy Sepulchre. Saat sedang berada dalam gereja, waktu shalat pun tiba. Uskup Sophorius yang merupakan pemimpin umat Kristen pun mempersilakan sang Khalifah untuk shalat di tempat ia berada, tapi Umar menolaknya.
Umar menjelaskan sesuai Allah SWT, QS Al-Kafirun ayat 6: ” Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”.
”Andai saya shalat dalam gereja, umat Islam akan mengenang kejadian ini dengan mendirikan sebuah masjid di sana, dan ini berarti mereka akan memusnahkan Holy Sepulchre,” jelas Umar.
Ia pun pergi dan mendirikan shalat di tempat yang agak jauh dari gereja. Di lokasi tempat Umar mendirikan shalat inilah, yang kemudian dibangun sebuah masjid bernama Masjid Kubah Batu di era Dinasti Umayyah.
Kembali pada kisah Rasulullah SAW yang menunaikan shalat menghadap Baitul Maqdis selama 17 bulan pertama setelah Hijrah. Saat itu, kaum Yahudi memanfaatkan niat mulia Rasulullah SAW yang menghargai cara ibadah kaum Yahudi dan Nasrani, dengan melakukan beragam tipu daya. Dalam hal ini, mereka berusaha meyakinkan Rasulullah SAW agar Rasulullah terus beribadah menghadap Baitul Maqdis dan hanya terfokus kepada Baitul Maqdis sehingga dapat melupakan Baitul Haram.
Dijelaskan dalam sebuah riwayat, bahwa segolongan kaum Yahudi berkata: “Maka jika engkau itu benar benar Rasul Tuhan, wahai Muhammad, hendaklah engkau berdiam di tanah suci itu (Baitul Maqdis) menurut jejak para Rasul Tuhan yang terdahulu daripada engkau.”
Namun Rasulullah SAW tidak terperdaya oleh bujuk rayu Yahudi. Sebaliknya, beliau selalu merasakan kerinduan menunaikan salat menghadap Ka’bah (Masjidil Haram). Beliau kemudian berharap petunjuk dari Allah SWT dengan menengadah ke arah langit mengharapkan turunnya wahyu terkait hal tersebut. Kejadian ini pun terekam dalam surat Al-Baqarah ayat 143 sampai 145:
Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata: “Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?” Katakanlah: “Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.”
Ayat 143 tersebut sebagai bentuk ketegasan bahwa hanya Allah SWT-lah yang memberikan petunjuk dan memiliki segala arah. Oleh sebabnya, sangat sombong dan licik tipu daya Yahudi yang menunjukkan seolah-olah mereka paling mengetahui perihal ibadah.
Kemudian pada ayat 144 diterangkan jawaban atas kerinduan Rasulullah SAW kepada Masjidil Haram:
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidilharam itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.”
Sedangkan pada ayat 145, diterangkan identitas Islam sebagai agama yang tidak meniru-niru agama lainnya, melainkan agama yang secara lugas menjelaskan perbedaan keyakinan (iman) antar umat manusia. Dan atas perbedaan itu, Islam sangat mengedepankan toleransi, yaitu tidak memaksakan umat agama lain untuk beribadah sesuai aturan Islam.
“Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamu pun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian mereka pun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain.”