Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A)
Di pertengahan Oktober ini kita mendapat suguhan menarik mengenai dunia penegakan hukum di tanah air. Kita sebut menarik karena kasusnya menganai tindak pidana yang sebelumnya menjadi tranding topic dalam beberapa bulan, yaitu mengenai pembunuhan Brigadir J yang melibatkan salah seorang petinggi polisi bintang dua yang tidak lain ialah bosnya sendiri (8/7/2022). Ketika orang harap-harap cemas mengenai kapan sidang akan digelar, pelaksanaan sidang di PN Jaksel yang disiarkan secara live oleh beberapa stasiun TV swasta nasional itu seolah menjawab spekulasi masyarakat. Hampir seluruh mata tertuju ke layar kaca menyaksikannya. Ketika FS diumumkan sebagai tersangka oleh Kapolri banyak yang mengatakan “ternyata polisi masih ada”, kini ketika sidang perkara tersebut digelar orang pun menyaksikan bahwa “peradilan (juga) masih ada”.
Suatu pesidangan di pengadilan biasanya selalu dilaksanakan terbuka untuk umum. Oleh karena itu siapapun pada prinsipnya juga boleh menyaksikan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Asas sidang terbukan untuk umum ini ditegaskan pada Pasal 13 UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pada pasal ini secara jelas dan tegas tertulis : “Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali UU mentukan lain.” Asas terbuka untuk umum ini harus dilaksanakan oleh setiap pengadilan yang menyelenggarakan persidangan. Pelanggaran terhadap ketentuan ini bisa mengakibatkan putusan yang dijatuhkan oleh hakim batal demi hukum. Hanya saja memang ada perkara tertentu, yang oleh UU dikecualikan, seperti sidang perkara perceraian yang harus dilakukan secara tertutup untuk umum. Meskipun demikian, ketika pembacaan putusan, harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Tujuan utama, asas terbuka untuk umum dalam sidang tersebut, yang paling utama ialah agar sebuah pemeriksaan bisa berlangsung secara transparan dan peradilan yang fair (fair trial). Dengan cara demikian penegakan hukum dapat berjalan dengan benar karena dapat dikontrol oleh masyarakat luas. Praktik korupsi mengenai penegakan hukum yang mengarah kepada kezaliman juga dapat dihindari.
Hanya saja memang tidak semua persidangan, masyarakat tertarik untuk meyaksikannya. Hal ini biasanya disebabkan karena perkara yang disidangkan kurang menarik sehingga tidak menarik pula untuk ditonton Karena kurang menarik media elektronik pun tidak tertarik menyiarkanya.
Persidangan kasus pembunuhan Brigadir J menjadi menarik karena dari awal kasus ini terlanjur menjadi perhatian publik berbulan-bulan. Keluarga almarhum Brigadir J pasti akan dengan tekun dalam minggu-minggu ini mengikuti tahap demi tahap jalannya persidangan. Meskipun telah mendapat detail kronilogis peristiwa pidana dari pengacaranya, tetapi menurut versi resminya, selama ini keluarga almarhum hanya mengetahui penggalan-penggalan cerita melalui media. Pada persidangan yang digelar secara live ini tidak hanya keluarga, semua masyarakat dapat secara utuh mengetahui kronologis peristiwa pembunuhan dramatis nan sadis itu. Para mahasiswa hukum wajib tertarik untuk menontonnya. Kalau perlu, seperti ketika ada piala dunia sepak bola, mereka perlu menggelar layar lebar di halaman fakultas hukum untuk nonton bareng. Mereka perlu mencermati istilah-istilah hukum, surat dakwaan jaksa, eksepsi, putusan sela majelis dan tahapan-tahapan persidangan lainnya.
Dalam praktik persidangan pidana memang berbeda dengan persidangan perdata. Pada persidangan pidana persidangan digelar dengan tahapan sebagai berikut: Pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), pemberian kesempatan untuk eksepsi kepada terdakwa/ penasihat hukum (jika ada), tanggapan atas eksepsi oleh jaksa (jika ada), putusan sela (jika ada eksepsi), pembuktian (pemeriksaan alat-alat bukti dan barang bukti), tuntutan hukuman oleh JPU, pledoi (nota pembelaan) oleh terdakwa/ penasihat hukum, replik ( jawaban atas pledoi) oleh JPU, duplik (tanggapan atas replik ) oleh terdakwa/penasihat hukum, dan putusan hakim. Dalam perkara pidana yang ada di hadapan hakim adalah terdakwa, penasihat hukumnya, dan jaksa penuntut umum.
Sedangkan dalam perkara perdata yang ada di hadapan hakim adalah para pihak yang disebut “penggugat” dan “tergugat”. Persidangan perdata biasanya diawali dengan pembacaan gugatan, pemberian kesempatan tergugat untuk menyampaikan jawaban, replik (tanggapan penggugat atas jawaban tergugat), duplik (tanggapan tergugat atas replik penggugat), pembuktian ( oleh penggugat dan tergugat), kesimpulan, dan terakhir putusan hakim. Akan tetapi, dalam perkara perdata sebelum dilakukan pembacaan gugatan ada tahapan proses yang harus dilaksanakan oleh hakim dan para pihak yang berperkara, yaitu mendamaikan kedua belah pihak dan mediasi. Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 mediasi ini wajib ditempuh. Konsekuensi yang timbul, apabila hakim tidak memerintahkan untuk mediasi perkara menjadi batal demi hukum. Apabila setelah diperintah oleh hakim penggugat tidak mau melaksanakan mediasi, maka hakim tidak akan memeriksa pokok perkara yang disengketakan dan perkara akan diputus secara negatif, yaitu putusan hakim bahwa perkara diyatakan perkara tidak dapat diterima.
Bagi orang yang sudah malang melintang di dunia peradilan hal-hal semacam di atas mungkin terkesan sederhana tetapi ternyata tidak demikian bagi orang yang awam hukum. Dalam masyakarat banyak orang yang belum mengerti sekaligus membedakan tugas-tugas para pejabat di bidang peradilan, seperti jaksa, hakim, dan advokat. Ketika menerima para mahasiswa hukum praktik, juga banyak yang gagal menjawab pertanyaan seputar istilah praktis dunia peradilan tersebut, seperti apakah verstek, verzet, pledoi, replik, dll. Bahkan, pernah terjadi dalam praktik di beberapa pengadilan agama pernah menyediakan ruang khusus untuk para advokat. Tampaknya, praktik tersebut didasarkan atas persepsi bahwa para advokat adalah penegak hukum yang—karena penampilanya rapi dan berdasi–harus dihormati dan oleh karenanya harus mendapat tempat khusus di salah satu sudut ruang pengadilan. Tetapi kemudian praktik demikian kini tidak lagi terjadi karena adanya kesadaran bahwa dalam peradilan agama para advokat adalah para pihak yang sedang berperkara. Oleh karena menjadi pihak, maka statusnya sama dengan para pihak lainnya.
Sedangkan di Pengadilan Negeri perlu menyediakan ruangan khusus untuk advokat hanya kalau terkait dengan perkara pidana. Para advokat dalam perkara pidana eksistensinya adalah tuntutan undang-undang yang sederajat dengan hakim dan jaksa: “sama-sama penegak hukum”.
Menurut Pasal 54 KUHAP, tersangka berhak mendapatkan bantuan hukum dari penasihat hukum dalam setiap pemeriksaan. Malah menurut Pasal 56 KUHAP, apabila tindak pidana yang dilakukan, diancam hukuman 5 tahun atau lebih, kehadiran penasihat hukum mendampingi tersangka untuk kepentingan pembelaan, hukumnya wajib. Memamg akibat hukum terdakwa yang tidak didampingi penasihat hukum tidak diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, berdasarkan putusan Mahkamah Agung terdahulu yang telah menjadi yurisprudensi sebagaimana dikutip hukumonline.com (1 Agustus 2022), bahwa apabila terdakwa tidak didampingi oleh pengacara, maka segala produk hukum yang dihasilkan akan cacat hukum dan harus dibatalkan demi hukum.
Akhirnya, mumpung ada perhelatan hukum gratis di media, mari kita “nonton bareng” jalannya persidangan. Sebagai negara yang mengklaim negara hukum, kita perlu tahu seluk beluk hukum. Pengetahuan dimaksud, tentu tidak hanya sebatas teori tetapi juga tahu praktik penegakannya. Dengan mengetahuinya diharapkan kita tidak terjerumus ke dalam pelanggaran hukum. Dan, yang lebih penting semoga tidak menjadi korban “permainan hukum”. Selamat menonton.