SURABAYA – beritalima.com, Dr. Habib Aji SH. MHum, notaris sekaligus ahli di bidang kenotariatan dihadirkan sebagai saksi dalam perkara dugaan pemalsuan surat dengan terdakwa Notaris Edhi Susanto dan Feni Talim di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Kamis (25/8/2022).
Dr. Habib Aji menyatakan bahwa dalam Pasal 15 UU Nomor 2 tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dinyatakan bahwa Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta. Memberikan grosse, salinan dan kutipan akta.
“Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula, Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. Membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya,” katanya diruang sidang Garuda 2 PN Surabaya.
Terkait akta dibawah tangan yang dilegalisasi berdasarkan Pasal 15 UU Nomor 2 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, akta-akta yang tersurat dan di warmeking. Mungkin ahli bisa menjelaskan apa yang dimaksud dengan legalisir dan apa yang dimaksud dengan warmeking,?
Ahli menjawab, dalam pasal 15 ayat 2
Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan ini dalam praktek notaris biasa disebut legalisasi. Sedangkan membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus disebut warmeking.
“Kalau legalisasi ditandatangani, dijelaskan dan dibacakan disaksikan saki-saksi, tapi kalau warmeking surat dibawah ke notaris dan dibukukan dalam buku khusus,” jawabnya.
Lanjut ahli, format legalisir harus ada kalimat atau kata-kata dilegalisasi oleh notaris, kalau tidak ada kalimat seperti itu berarti bukan termasuk legalisir.
“Kalau legalisasi pemohon yang bertandatangan harus hadir. Kalau warmeking tidak perlu hadir hanya dokumennya saja yang diserahkan,” lanjutnya.
Piter bertanya, kalau ada sebuah dokumen yang diserahkan kepada notaris, kemudian si notaris membubuhkan tulisan ‘diketahui’ itu masuk kategori legalisir ataukah warmeking?
“Kalau surat diserahkan dan dinilai notaris sudah lengkap bahkan ditulisi ‘diketahui’ itu namanya warmeking,” jawab ahli.
Ditanya Piter Implikasi hukum dari warmeking, apakah notaris bertanggung jawab pada isi dan tanda tangan dalam dokumen itu,?
“Notaris tidak bertanggungjawab. Yang bertanggungjwab hanya pencatatanya saja,” jawab ahli.
Dalam sidang, ahli juga menyebut dalam UU tentang jabatan notaris tidak dikenal dengan prinsip kehati-hatian.
“Dalam Pasal 16 disebutkan, dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib bertindak amanah, jujur, mandiri dan tidak berpihak,” pungkas ahli.
Sementara Guru Besar Universitas Bhayangkara Prof Dr Sadjijono SH MHum mengawali persidangan dengan menjawab pertanyaan kuasa hukum Terdakwa Pieter Talaway terkait pasal 263 KUHPidana ayat 1 maupun ayat 2, apakah itu masuk dalam unsur delik kesengajaan atau delik kelalaian (Culpa).
Menurut Prof Dr Sadjijono ada dua unsur perbuatan yang ada dalam pasal 263. Yang pertama membuat surat palsu dan yang kedua memalsukan surat palsu.
Membuat surat palsu adalah yang sebelumnya belum ada surat kemudian dibuat surat. Kemudian surat tersebut yang seolah benar atau asli. Sedangkan memalsukan surat adalah telah ada surat kemudian surat itu diubah atau ditambah dan dikurangi bahkan dihilangkan dari substansi surat itu sehingga isi surat itu seolah asli.
“Terkait rumusan unsur hukum yang dimaksud dalam pasal 263 ayat 1 ini adalah membuat surat palsu dan memalsukan surat. Kemudian unsur pertama atau delik adalah dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain. Jadi setelah surat itu dipalsukan maka ada maksud kesengajaan,” kata ahli.
Menurut ahli, dalam konteks pasal 263 KUHP tidak hanya delik formilnya saja yang dibuktikan, tapi delik materil juga harus dibuktikan.
“Jadi akibat yang timbul dari suatu perbuatan harus ada dan nyata,” sambung ahli.
Pieter Talaway bertanya dalam Pasal 263 ayat 1 maupun 2 ada frasa yang berbunyi dapat menimbulkan kerugian, kalau kerugiaan ini tidak ditimbulkan frasa ini tidak ada dalam pasal 263 KUHP. “Dapat menimbulkan kerugian ini, apa harus dibuktikan oleh jaksa?” tanya Pieter.
Ahli kemudian menjawab bahwa unsur-unsur dalam Pasal 263 KUHPidana itu semua harus dibuktikan, baik sifat delik formil maupun meteril.
“Ketika di delik materil dalam frasa tersebut dapat menimbulkan kerugian berarti disini harus ada kerugian yang ditimbulkan,” jawab ahli.
Sementara, Ronald Talaway yang juga tim penasihat hukum terdakwa menanyakan terkait alat bukti labfor tanda tangan yang diduga palsu. Apakah cukup diuji di labfor atau harus diuji oleh si pembuat tanda tangan,?
Menurut ahli, ketika ada suatu dugaan pemalsuan tanda tangan. Disini selalu diuji dari laboratorium dan menerangkan bahwa tanda tangan ini identik atau non indentik. Tetapi itu saja tidak menerangkan siapa yang bertanda tangan ini. Maka secara tegas ahli mengatakan, bahwa uji labfor belum tuntas dan seharusnya ada satu langkah lagi untuk menyempurnakan hasil. Dimana secara umum pembuktian tanda tangan palsu membandingkan tanda tangan yang ada dalam suatu akta dengan tanda tangan orang yang merasa dipalsu.
“Maka dengan langkah satu lagi itu membuat hasilnya sempurna, dan keadilan itu ada,” kata ahli.
Ditanya Jaksa Penuntut Umum (JPU) Hari Rahmad Basuki, apakah dalam pasal 263 ayat 1 harus ada unsur dapat merugikan. Bahwa potensi kerugian itu ada pada undang-undang perpajakan saja. Tapi khususnya dalam pasal 263. Pada putusan Yurisprusendi dapat menimbulkan itu sudah berpotensi. Karena pemalsuan surat tidak selamanya menimbulkan kerugian bagi korban.
Menjawab pertanyaan jaksa tersebut, ahli secara tegas berpendapat bahwa di dalam Pasal 263 KUHplPidana kerugian itu harus kongkrit dan nyata.
“Kerugian itu harus konkret dan nyata,” tegasnya.
Dikonfirmasi usai sidang, Ronald Talaway mengatakan dari keterangan ahli pidana Prof. Dr. Sadjiono, Guru Besar Universitas Bhayangkara pada persidangan bahwa mengenai 263 ayat 1 dan 263 ayat 2 KUHP yang merupakan delik kesengajaan bukan delik kelalaian ,sejalan dengan itu diperlukan niat yang mengakibatkan kerugian sehingga apabila tidak ada kerugian konkret tentu rumusan delik tidak dapat terpenuhi.
Masih kata Ronald, bicara pula mengenai alat bukti bahwa hasil labfor tentu bukan pembuktian mutlak perbuatan memalsu, sebenarnya hal tersebut juga sejalan dengan ahli pidana sebelumnya yang dihadirkan oleh penuntut umum.
“Sehingga dari keterangan tersebut berdasarkan prinsip dan penerapan hukum kedua klien kami tidak dapat dipidana ,dan perlu diingat beban pembuktian perbuatan memalsu ada di penuntut umum sehingga tentunya para Klien kami tidak dapat diklasifikasikan melakukan perbuatan melanggar ketentuan 263 ayat 1 atau 2 KUHP sebagaimana yang didakwakan penuntut umum dalam perkara ini,” ujar Ronald.
Ronald menambahkan, ahli kenotariatan Dr. Habib Adjie menerangkan kuasa yang notabene bukan merupakan akta notariil, terkait kebenaran tanda tangan dalam kuasa tersebut bukanlah tanggung jawab notaris.
“Sehingga salah apabila klien kami yang diminta pertanggungjawaban atas kebenaran tanda tangan mengingat sampai detik ini penuntut umum juga tidak berusaha membuktika klien kami lah yang menorehkan tanda tangan saksi Itawati pada surat kuasa,” ujar Ronald. (Han)