Notaris Lutfi Merasa Dikriminalisasi, Hj Pudji Berencana Laporkan Rusiyanto dan Juhron

  • Whatsapp

SURABAYA – beritalima.com, Sidang lanjutan perkara notaris, Lutfi Afandi kembali digelar di Pengadilan Negeri Surabaya, sidang kali ini menghadirkan tiga orang saksi dari kejaksaan. Ketiga saksi yakni Muhamad Djuhron, Muhamad Choiron dan Rusiyanto. Ketiga saksi itu adalah para pihak yang menyebabkan notaris Lutfi duduk di kursi terdakwa. Kamis (15/2/2018).

Kepada majelis hakim yang diketuai Pesta Sirait, saksi Muhammad Djuhron, Muhammad Choiron dan Rusiyanto sepakat menyatakan tidak merasa melakukan jual beli atas tanahnya dan merasa tidak pernah melepas sertifikat miliknya kepada Hj Pudji Lestari. “Tidak ada jual beli, tanah itu masih saya garap, sertifikatnya ada,” kata saksi Mohamad Choiron dan diamini dua saksi lainnya.

Menanggapi kesaksian tersebut, terdakwa Lutfi Afandi mengatakan bahwa dirinya telah dikriminalisasi atas kasus dugaan penipuan sebesar Rp 4,2 miliar yang dituduhkan Hj Pudji Lestari, kendati dia sudah bekerja sesuai Jabatan Notaris.

“Tau-tau oleh Polda sudah di P21 dan sekarang disidangkan. Saya tidak bisa berbuat banyak, termasuk melakukan upaya praperadilan. Padahal pasal 66 ayat 1 UU No. 30/2004 Undang-Undang Jasa Notaris (UUJN) untuk memeriksa notaris harus mendapatkan ijin terlebih dahulu kepada Majelis Pengawas Daerah (MPD) Notaris,” ungkap Lutfi.

Kepada awak media, Lutfi juga menerangkan bahwa dalam perkara ini dirinya tidak pernah menerima uang sepeserpun seperti yang dituduhkan, “Satu rupiah, seribu rioaih pun saya tidak pernah menerima, penipuannya dimana?, kerugiannya berapa?, wong belum dibayar,” ungkap Lutfi.

Terkait tuduhan bahwa dirinya menyerahkan sertifikat kepada Muhamad Choiron bukan kepada Hj Pudji, diakui Lutfi bukan menyerahkan tapi mengembalikan sertifikat itu ke pemilik asalnya, yang menyerahkan sertifikat ke saya adalah Muhamad Choiron sendiri, logikanya kalau ada orang jual beli, kira-kira siapa yang membawa sertifikat, pembeli?, atau penjual?, Intinya sertifikat yang ngantar pertama kali adalah pak Choiron, terus saya serahkan kembali ke pak Choiron,” bantahnya.

Namun diakui Lutfi kalau dirinya memang tidak langsung menyerahkan sertifikat tersebut ke Choiron, melainkan menunjuk pegawainya untuk menemui notaris Hendrikus untuk penyerahan, “Waktu ke notaris Hendrikus, Choiron yang menunjuk karena punya pak Choiron tidak dijual ke bu Pudji. Untuk PPAT saya menunjuk pak Sugeng saya hadirkan pak Sugeng. aktenya dibuat Pak Sugeng dan akte bikinan pak Sugeng itu belum disahkan lho, karena Sertifikat belum dicek ada masalah apa tidak.? Jangan salah, jadi seritfikat belum bisa diproses, pengecekan sertifikat saya lakukan melalui perantara pak Sugeng, begitu dicek dikembalikan lagi, Choiron kuncinya.” tambah notaris Lutfi.

Usai persidangan, Hj Pudji Lestari selaku korban mengakui bahwa dirinya tidak pernah memberikan uang ke notaris Lutfi, “Uang Rp 4,2 miliar itu tidak pernah saya berikan ke pak Lutfi, uang itu lari ke penjual. Saya melaporkan pak Lutfi itu karena dia PPAT dan dia menyerahkan sertifikat tanpa sepengetahuan saya karena saya juga punya bukti menyerahkan ke dia,” aku Hj Pudji Lestari.

Hj Pudji pun berencana akan melaporkan penjualnnya, karena dia sudah mengeluarkan banyak uang, “Penjualnya belum saya laporkan, uang saya itu lari ke penjual, saya belum melaporkan penjual. Uang saya juga masuk ke Rusiyanto, Juhron dan dua orang lainnya, saya berencana melaporkan lagi dan pak Edward Rudi (pengacara) siap dibelakang saya,” pungkasnya.

Sesuai berkas perkara No 103/Pid.B/2018/PN SBY tanggal register 16 Januari 2018, Notaris Lutfi Afandi SH.M.Kn diduga melakukan penipuan terhadap Hj. Pudji Lestari , SE, Mm sebesar Rp 4,2 miliar.

Kasus ini berawal dari terjadinya pembelian sebidang tanah tambak yang berlokasi di desa Gebang, Kabupaten Sidoarjo, sesuai Sertifikat Hak Milik No. 64 dengan luas total 34 hektar. Pembelian tersebut terjadi pada Mei 2011.

Tanah yang dibeli Pudji Lestari itu luasnya 24 hektar. Tanah itu milik empat orang. Sebenarnya, di dalam sertifikatnya, total tanah tambak itu adalah 34 hektar, milik enam orang. Namun, dua orang lainnya tidak menjual tanah tambak sisanya, yakni 10 hektar ke Pudji.

Atas pembelian tersebut Hj. Pudji Lestari kemudian ke notaris Lutfi Afandi, dikantornya yang beralamat di Jalan Raya Waru, Sidoarjo, untuk membuat Akta Jual Beli (AJB) dan Akta Pembagian Hak Bersama (APHB), Hj. Pudji sempat meminjam sertifikat induk ke notaris Lutfi. ama ditunggu, ternyata AJB dan APHB itu tak kunjung selesai. Di tahun 2013, Hj. Pudji Lestari mengetahui adanya sebuah AJB dan APHB atas tanah tersebut. Ironisnya, akte-akte itu dibuat notaris Sugeng Priadi, bukan notaris Lutfi Afandi. Dan itu terjadi tahun 2013.

Hj. Pudji pun berusaha untuk mengecek kebenaran hal itu namun selalu gagal. Hingga akhirnya, Hj. Pudji Lestari mendapatkan informasi jika pada tahun 2011 itu, notaris Lutfi Afandi belum mempunyai ijin Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT). Ia hanya seorang notaris biasa. Kendati sebelumnya Hj. Pudji Lestari, SE, MM pada tanggal 19 Agustus 2010 lalu pernah membuat Akta Jual Beli dan diberikan tanda terima yang Stempelnya adalah Notaris / PPAT oleh terdakwa Lutfi Afandi. (Han)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *