KUPANG, beritalima.com – Wakil Gubernur NTT, Josef A. Nae Soi, mengatakan, NTT membutuhkan banyak investasi demi mempercepat kemajuan masyarakat. Namun para investor diminta untuk sungguh memperhatikan kesejahteraan masyakarat NTT.
“Tentu saja kita akan mengundang investor ke sini. Investor tentu ingin making profit (mencari keuntungan), itu tidak bisa dihindarkan. Tapi dalam mencari keuntungan bisnis, kami dengan tegas mengatakan, siapa pun yang menanamkan modalnya di NTT harus perhatikan masyarakat di sekitarnya. Investor kita suruh masuk, tapi masyarakat harus diseimbangkan dalam hak-haknya maupun sebagai aset produksi dalam perusahaan,” kata Wagub dalam arahannya dalam Rapat Temu Investor sekitar Kawasan Pemukiman Transmigrasi di Hotel Aston, Rabu (10/4).
Kegiatan ini difasilitasi oleh Direktorat Jenderal Pengembangan Kawasan Transmigrasi Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT).
Menurut Wagub Nae Soi, dengan Pariwisata sebagai sektor andalan penggerak ekonomi, NTT bertekad untuk menyumbangkan sesuatu bagi kebutuhan nasional. Dalam perspektif ini, NTT mengembangkan revolusi hijau dan revolusi biru. Salah satu revolusi biru adalah pengembangan garam. Tujuan keduannya adalah kemakmuran sebesar-besarnya untuk masyarakat. Kami mengundang sebanyak mungkin investor untuk masuk ke NTT.
“Investor diharapkan memperhatikan prinsip simbiosis mutualisme, saling menghidupkan. Kita butuhkan investor, tapi rakyat juga butuhkan kemakmuran dan menjaga lingkungan. Alam harus dijaga. Karena itu khusus untuk tambang, minta maaf saja, kami melakukan moratorium bagi tambang galian seperti emas, mangan karena akan ganggu kelestarian alam dan tidak sesuai dengan semangat kami untuk kembangkan pariwisata,” jelas Josef Nae Soi.
Lebih lanjut Wagub menjelaskan, Pemerintah Provinsi bertekad untuk memberikan kepastian hukum kepada para pengusaha. Permasalahan-permasalahan terkait investasi seperti lahan dan sebagainya harus bisa difasilitasi dengan baik agar bisa mengakomodir kepentingan investor dan masyarakat.
“Kami sangat paham bahwa dunia usaha sangat membutuhkan kepastian hukum. Teman-teman pengusaha tak perlu takut, kita berkomitmen untuk memberikan kepastian hukum ini . Kami juga akan koordinasikan dengan para bupati tentang hambatan-hambatan yang dihadapi. Prinsip kami bonum commune suprema lex (kesejahteraan masyarakat adalah hukum tertinggi). Kalau ada aturan yang hambat kesejahteraan umum, maka harus utamakan bonum commune. Termasuk kami akan mencabut perusahaan yang sudah dapat HPL, tapi tidak memanfaatkannya,” pungkas Wagub Nae Soi.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pengembangan Kawasan Transmigrasi Kementerian Kementerian Desa PDTT, H.M Nurdin mengatakan dalam mempercepat pembangunan kawasan transmigrasi melalui konsep Kota Mandiri Terpadu (KMT), kementerian PDTT melakukan kerja sama dengan pihak ketiga dengan pola investasi. Tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengurangi kemiskinan dan membuka lapangan kerja bagi masyarakat.
“Di kawasan transmigrasi, ada kawasan-kawasan sisa yang disebut lahan-lahan cadangan atau lahan sisa yang belum termanfaatkan. Lahan-lahan inilah yang kita kerjasamakan dengan investor melalui sistem HPL (Hak Pengelolahan Lahan) di mana perusahan mengusahakan komoditi-komoditi mereka sekaligus mensejahterakan masyarakat transmigran di sekitar kawasan. Juga pengembangan infrastruktur di daerah tersebut. Skemanya melalui plasma dan intiplasma. Masyarakat diharapkan mendapatkan manfaat ganda dalam meningkatkan kesejahteraaanya dengan bekerja pada perusahaan dan dari hasil panenan komoditi. Untuk pengembangan KTM ini, semua sektor kementerian pusat bisa terlibat. Misalnya PUPR untuk bangun jalan dan embung. Kementerian Agraria untuk sertifikatnya dan kementerian teknis lainnya pengawasan komoditinya,” jelas M. Nurdin.
Menurut Nurdin, untuk Provinsi NTT ada dua Kabupaten yang ditetapkan oleh Kementerian PDTT untuk pengembangan model kerja sama dengan investor yakni Kabupaten Sumba Timur dan Timor Tengah Utara (TTU). Di Sumba Timur Kementerian Desa PDTT melakukan kerjasama dengan PT. MSN (Muria Sumba Manis) bagi pengembangan komoditi tebu untuk Gula serta PT. Mergo Agro Abadi bagi pengembangan tanaman sisal di kawasan transmigrasi Melolo Kecamatan Umalulu. Sementara di TTU dengan PT Tamaris Garam Nusantara untuk pengembangan garam di Ponu.
“Kesulitan yang kami temui adalah masih kurangnya minat warga lokal untuk menempati Satuan Pemukiman (SP) baru tersebut. Ada pikiran supaya para TKI asal NTT yang pulang itu bisa memanfaatkan potensi ini. Karena kawasan ini sangat potensial untuk jadi pusat pertumbuhan ekonomi baru. Kesulitan lainnya soal perizinan dari pemerintah daerah,
agar bisa difasilitasi untuk dicari jalan keluarnya,” jelas M. Nurdin.
Sementara itu pimpinan PT Tamaris Garam Nusantara, Rusni Kartina mengungkapkan kesulitan yang dialami adalah soal lamanya dan rumitnya dapatkan perizinan dari pemerintah daerah.
“Kami mengharapkan pemerintah provinsi untuk melakukan fasilitasi. Kesulitan lainnya adalah terkait sosialisasi bersama masyarakat adat. Kami tentu sangat menghargai dan menjunjung tinggi kearifan lokal seperti ini, namun kami punya target produksi. Kami mengharapkan forum diskusi ini bisa menghasilkan jalan keluar terbaik. Dukungan dari pemerintah dalam hal kebijakan dan legalitas sangat kami harapkan,” jelas Rusni. (L. Ng. Mbuhang)