NU Dan Narasi Akhir Tahun

  • Whatsapp

Oleh: Drs.H. Asmu’i Syarkowi, M.H.

(Warga NU dan Hakim PA Semarang Kelas IA)
Di setiap akhir tahun biasanya pusat-pusat perbelanjaan memasang baliho besar-basar. Isinya biasanya berisi iklan “big sale” hampir meliputi setiap jenis barang. Pada penghujung tahun itu pula biasanya banyak yang merencanakan berbagai kegiatan bersifat rekreatif. Para pelaku wisata pun biasanya tidak menyia-nyiakan peluang demikian.

Sehingga, pada setiap akhir tahun, merupakan masa-masa panen. Jasa angkutan berupa armada bus dikemas sedemikian rupa menjadi sebuah paket wisata yang memudahkan para palanggan menuju objek-objek wisata yang diinginkan. Ada yang wisata murni ada pula wisata religi. Tidak hanya anak-anak sekolah, tetapi juga oleh kelompok majelis taklim. Hanya saja, di masa pandemi ini tampaknya aktivitas tahunan yang fenomenal tersebut, sedikit terganggu. Bahkan, ketika ganas-ganasnya virus asal Wuhan ini, hiruk pikuk akhir tahun nyaris tidak ada.
Seiring telah ‘mengendornya’ gejala wabah, ada potensi aktivitas tersebut kini menggeliat lagi. Akibat kesuksesan vaksinasi yang dicanangkan pemerintah secara massif, kini tampaknya masyarakat semakin percaya diri akan kekebalan tubuhnya. Beraktivitas di luar rumah tampak bukan sesuatu yang menakutkan lagi. Kegiatan ekonomipun diam-diam bergerak aman.

Akan tetapi, tentunya masih segar di memori otak kita, bahwa pada setiap penghujung tahun ini, kita sering dibuat mengernyitkan dahin akibat kemunculan narasi-narasi bernansa permusuhan. Dan, sebagai anak bangsa yang hidup di negeri yang sagat hiterogen ini, patut prihatin karena narasi-narasi tersebut sering bernuansa SARA dan berpotensi merusak suasana persatuan dan kesatuan.

Ada dua perhelatan yang sering dijadikan sumber pembuatan narasi sensitive itu ialah natal dan tahun baru. Natal dinarasikan sebagai kegiatan yang keagamaan non Islam. Sebagai kegiatan ritual non Islam, orang Islam pantang, tidak hanya datang ke perhelatan peringatan natal, tetapi juga haram ikut berkegiatan yang berkaitan dengannya, seperti mengucapkan “Selamat Natal”. Olah karena perayaan natal oleh umat Kristiani merupakan peringatan kelahiran Yesus dan oleh kaum Nasrani danggap sebagai Tuhan, maka orang Islam yang ikutan mengucapkan selamat natal dapat dipersamakan sebagai umat yang menuhankan Yesus. Itulah sebabnya menurut mereka mengucapkan “Selamat Natal” bertentangan dengan Al Qur’an, terutama Surat Al Ikhlas. Dan, yang lebih penting dapat merusak akidah, alias murtad. Oleh karena itu, meskipun dalam rangka pengakuan eksistesi dan kesetaraan, pemerintah melembagakannya sebagai salah satu hari besar nasional, ummat Islam pun tetapnharam hukumnya menghadirinya apabila diundang, tidak terkecuali para pejabat.

Acara tahun baru juga tidak luput mendapat sorotan tajam. Menurut mereka peringatan tahun baru, sama halnya peringatan tahun “kafirin”. Narasi yang dibangun sama. Marayakan tahun kafirin berarti sama dengan kaum kafirin. Hadits rasulullah SAW yang berisi larangan tasyabbuh pun termasuk yang laris manis di akhir tahun. Opini masyarakat awam, mengenai hal itu tentu mendapat dukungan, ketika para ustadz kondang dengan follower super banyak, juga ikutan berkhotbah serupa di masjid-masjid atau dunia medsos.
Dengan latar belakang dan dukungan sebagian ustadz muda potensial tersebut, baik melalui mimbar masjid atau medsos, narasi-narasi akhir tahun demikian tampaknya telah mengubur dalam-dalam narasi tandingan yang lebih berorientasi Islam ramah.

Ulama kontemporer Syaikh Yusuf al Qardhawy, dalam salah satu kitabnya Dirasah fi Fiqh Maqashid al-Syari’ah yang untuk edisi Indonesia diberi judul Fikih Maqashid Syari’ah, telah mengulas mengenai hal itu secara agak panjang lebar. Dan, narasi yang diperkenalkan tampaknya berbeda dengan narasi-narasi bernuansa radikal di atas. Uraian beliau, tidak lain dimaksudkan menjawab pertanyaan seorang mahasiswa muslim yang sedang menempuh program doktoral bidang atom di Jerman. Dia galau akibat kebiasannya memberikan ucapan selamat natal dan hadiah kepada teman Kristani. Tindakannya semata-semata untuk kepentingan menjaga harmoni pergaulan. Sebab, pada kesempatan lain, mereka pun pada hari-hari besar Islam, juga melakukan hal yang sama kepadanya. Ulama Mesir itu tentu tidak heran atas pertanyaan tersebut, sebab hal yang sama juga sering ditanyakan kaum muslimin yang hidup di berbagai negara-negara Eropa dan Amerika.

Pada pokoknya, dengan mengacu kepada Al Quran Surat Al Mumtahanah ayat 8-9 menurut beliau non muslim itu ada dua macam: “yang memiliki sikap damai” dan “yang memerangi”. Kaum Nasrani yang mau mengucapkan selamat pada hari-hari besar umat Islam pertanda mereka ingin hidup damai dengan kita. Kepada umat yang demikian, Al Qur’an mengajarkan agar kita berbuat baik ( al-birr) dan berlaku adil ( al-qisth) kepada mereka. Menurut mujtahid modern yang lahir 1926 dan meninggal di usia 95 tahun ini, kata al-birr dalam Al Qur’an melebihi keadilan itu sendiri. Menurut beliau, adil adalah anda mengambil hak anda, sedangkan kebaikan (al birr) adalah anda memberikan sebagian hak anda. Selanjutnya, adil juga berarti anda memberikan hak orang lain tanpa dikurangi sedikitpun, sedangkan kebaikan (al-birr) adalah menambah kebaikan terhadap orang lain. Sekali lagi, tentang perlakuan kepada non muslim yang berbuat damai Al Qur’an menggunakan kata al-birr. Kata tersebut ternyata digunakan untuk hak yang paling besar setelah hak Allah, yaitu berbakti kepada kedua orang tua (birr al-walidain). Dalam konteks ini pulalah sebagain Khalifah, Umar bin Khattab pernah sangat marah ketika mendengar, bahwa Amru bin Ash, Gubernur Mesir waktu itu, hendak ‘menggusur’ gubug reot Yahudi untuk ‘perluasan’ masjid. Padahal, akan dibelinya dengan harga 2 kali lipat pula.

Narasi Islam damai, seperti dikemukakan Yusuf Al Qardhawi tersebut tampaknya di era medsos ini sering kalah oleh Islam marah di atas. Tidak tanggung-tanggung Ulama sekaliber Quraisy Shihab sang pakar tafsir, yang juga mengahalalkan ucapan selamat natal dan tahun baru, itu pun seolah kalah dengan orang yang jangankan mengerti Al Qur’an, membca Al Quran pun masih terbata-bata. Padahal, pendapat yang demikian sebenarnya lebih mencerminkan Islam rahmatan lil alamin. Dan, yang lebih penting dari sisi strategi dakwah sangat menguntungkan.

Pendapat demikian tampakanya diikuti Nahdhatul Ulama yang merupakan salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Keberaniannya melembagakan kumunikasi sosial dengan umat Kristiani secara terbuka sering dituduh menjadi penyebab kerusakan akidah umat. Mereka pun sering mengkritik tajam beberapa tokoh NU. Tindakan beberapa tokoh NU berceramah di gereja dianggap sudah keterlaluan dan oleh karenanya sering mendapat sorotan tajam dari kelompok Islam marah tersebut. Gus Nuril, Gus Muwafiq, Gus Miftah, dan dan Kiai Said mungkin bisa dianggap sebagai tokoh yang ‘melegenda’ di kepala orang-orang yang anti pluralisme. Gus Nuril ‘hobi’ tausiyah natal di gereja, Gus Muwafiq tidak setuju penyebutan kafir bagi non muslim sesama warga Indonesia, Gus Miftah yang vocal dan ikutan pidato di gereja, dan Kiai Said ‘penggagas’ NU Cabang Katholik/Kristen. Bahkan, tokoh terakhir ini juga mendapat predikat ‘dedengkot’ Syi’ah. Kenylenehan beliau-beliau yang mencoba menawarkan konsep komunikasi lintas agama dalam bingkai NKRI, sering disalahpahami oleh tidak saja oleh NU tetapi bahkan oleh sebagian orang NU sendiri.

Dengan model penampakan dan sepak terjang NU, terutama para tokoh yang sepaham dengan para tokoh ‘nyleneh’ di atas, orang yang kritis terhadap NU sering mencoba membuat narasi yang mengesankan, bahwa merekalah role model Islam dalam arti sebenarnya dan yang lain salah. Tidak terkecuali, mengenai natal dan tahun baru ini. Padahal, narasi tentang seputar natal dan tahun baru, hanyalah menyangkut perkara ijtihadi. Persoalan ijtihadi memang memungkinkan munculnya ragam pendapat. Ironisnya, pendapat yang sudah populer di dunia Islam–seperti negara-negara Timur Tengah yang pasti lebih tua dari Indonesia mengenai natal dan tahun baru– itu, seolah dinafikan hanya kerana NU lebih dulu mengambil langkah terdepan dengan mengimplementasikan pergaulan lintas agama sesuai konteks keindonesiaan. Inilah ketidakobjektifan mereka. Atau, jangan-jangan termasuk kita. Dan, menjelang muktamarnya yang ke-34 di Lampung ini narasi-narasi tersebut pasti akan lebih ‘meriah’. Akan tetapi harapan kita, semoga para tokoh NU dan ummatnya, bersama elemen bangsa lain, tetap kompak dan istikomah membangun dan menjaga NKRI. Semoga.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait