Oleh : H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas IA)
Perayaan idul fitri sekarang memang telah mengalami ‘kemajuan’ yang luar biasa. Berbagai kegiatan dan acara diadakan khusus menyambut dan merayakannya. Khusus, yang terjadi di Indonesia menyambut dan merayakan idul fitri juga sangat unik. Pada setiap idul fitri kita saksikan banyak orang sibuk mempersiapkan dengan berbagai penampilan. Dari yang penampilan diri sampai penampilan rumah. Untuk penampilan diri misalnya orang mempersiapkan diri dengan membeli pakaian baru dan segenap perhiasan diri. Untuk penampilan rumah orang mempersiapkannya dengan mengadakan kebersihan, pengecatan rumah, mempersiapan hidangan idul fitri dengan berbagai aneka makanan dan minuman. Akibat semua itu, kita lihat menjelang idul fitri, toko, pasar, super market, mall terlihat ramai gegap gempita, dan berjejal-jejal dipenuhi kaum muslimin yang akan merayakan idul fitri. Untuk menyambut idul fitri inipun jutaan rupiah harus dikeluarkan oleh kaum muslimin. Bahkan ada kesan, seolah bekerja setahun memang sengaja diperuntukkan merayakan idul fitri yang memang hanya datang sekali dalam setahun. Bagi mereka yang kebetulan di luar kampung halaman, pada menjelang idul fitri juga harus pulang ke kampung halaman. Akibatnya jasa angkutan dari yang angkutan darat, laut, dan udara terlihat padat. Orang rela berdesak-desakan untuk sekedar mengantri membeli tiket dan berjubel berada dalam bus maupun kapal. Tangisan bayi dan anak-anak akibat kepanasan dalam kendaraan pun seolah tidak terdengar dan hilang di tengah euforia dan hiruk pikuknya orang dalam kendaraan.
Semua itu terjadi dan sengaja dilakukan oleh kaum muslimin hanya untuk sebuah tujuan merayakan idul fitri. Pada saat demikian juga hampir semua mass media memberitakan perilaku manusia Indonesia mennyambut idul fitri. Stasuin-stasiun TV pun perlu membuat liputan khusus dengan membuat judul liputan seputar mudik idul fitri.
Bagitulah kejadian tersebut terus berulang dari tahun ke tahun.
Sebagai seorang muslim kita memang perlu bertanya, apakah hal seperti itu dibenarkan manurut ajaran Islam? Atau, setidaknya adakah tuntunannya dalam agama kita?. Pertanyaan ini penting, untuk mengukur sejauh mana praktik menyambut idul fitri ini dari segi kacamta ajaran agama kita. Sebab, sebagai seorang muslim kita memang diharuskan melihat setiap gejala dan peristiwa dengan kacamata ajaran agama. Tujuannya ialah, agar kita tidak terjebak terhadap praktik-praktik yang salah. Salah karena yang kita lakukan adalah tidak sesuai dengan tuntunan ajaran agama kita. Mengenai hal ini kita semua tentunya telah yakin, bahwa setiap praktik perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran agama akan menjerumuskan kita ke dalam lembah dosa. Dan, setiap praktik perbuatan dosa pasti akan menyebabkan kita menuai murka Allah SWT.
Idul Fitri yang sekarang lazim disebut lebaran memang salah satu dari dua hari raya besar Islam. Hari raya yang satu lagi adalah Idul Adha. Menurut sejarah, Idul Adha mulai ada sejak tahun pertama hijriyah, sedangkan Idul Fitri mulai ada sejak tahun ke dua hijriyah. Dua hari raya tersebut diperkenalkan oleh rasulllah Saw sebenarnya merupakan pengganti dua hari raya yang dikenal oleh orang Arab sejak jaman jahiliyah. Dua hari raya yang dikenal sejak jaman jahiliyyah tersebut hari raya Nairuz dan Mahrayan. Rasulullah SAW mengganti dua hari raya tersebut dengan Idul Adha dan Idul Fitri karena praktik peringatan dua hari raya yang dilakukan oleh orang Arab, termasuk kaum muslimin waktu itu, berbahu tradisi Jahiliyyah. Tradisi jahiliyah itu antara lain ialah ketika mereka merayakan hari raya Nairuz dan Mahrayan tersebut dengan pesta pora, mabuk-mabukan, dan tidak jarang dari praktik merayakan hari raya tersebut sampai menimbulkan keonaran dalam masyarakat.
Melihat praktik demikianlah, kemudian rasulullah SAW terpanggil untuk mengubah tradisi yang tidak terpuji ini dengan kegiatan-kegiatan yang islami. Maka diperkenalkanlah dua hari raya tersebut.
Pada hari raya tersebut rasulullah memang membolehkan umat Islam untuk bersuka ria, bersenang-senang. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah oleh Imam Al Bukhary dapat kita peroleh berita bahwa rasulullah SAW pernah membolehkan wanita bernyanyi, mengadakan bunyi-bunyian dan mengadakan permainan saat hari raya. Nyanyian yang dimaksud tentunya bukan nyanyian yang mengundang kemaksiyatan. Bunyi-bunyian yang dimaksud juga bukan bunyi-bunyian suara petasan seperti yang dulu pernah semarak dan sekarang dilarang oleh pemerintah. Dan, permainan tersebut juga bukan permainan judi seperti yang terjadi di bebarapa tempat, seperti permainan adu ketangkasan yang diselipi judi.
Kebiasaan mengunjungi tempat hiburan, kebiasaan mudik sebenarnya bukan kebiasaan yang pernah dicontohkan rasulullah SAW. Kebiasaan tersebut hanyalah mubah atau boleh-boleh saja dilakukan. Dalam ajaran Islam persoalan yang mubah bisa berubah status hukum menjadi wajib, sunat, atau bahkan menjadi haram. Perubahan hukum tersebut tergantung alasan (illat) yang terjadi. Mudik, misalnya bisa menjadi sunat apabila mudik tersebut dimaksudkan untuk silaturrahmi dengan sanak saudara. Sebab silaturrahmi memang ada tuntunannya. Rasulullah SAW pernah bersabda :
“Hai sekalian manusia tebarkanlah salam, sambunglah tali persaudaraan, dan salatlah ketika orang-orang sedang terlelap tidur, niscaya kalian masuk surga dengan sejahtera.
Dalam hadits lain rasulullah SAW bersabda :
Dalam hadits lain Rasulullah SAW juga pernah bersabda:
“Barang siapa ingin rezekinya dibanyakkan dan umurnya dipanjangkan hendaklah ia menghubungkan tali silaturrahmi. ( HR. Bukhary ).
Mudik menjadi wajib jika ada orang tua yang mengharapkan kehadirannya dan dia mempunyai kesempatan untuk memenuhi harapan orang tua tersebut.
Mudik juga bisa menjadi haram, jika mudik tersebut dilakukan hanya sekedar pamer keberhasilan. Atau karena mudik menyebabkan seseorang membuang-buang uang untuk hal-hal yang tidak perlu yang akhirnya menjerumuskan ke dalam pola hidup boros. Padahal, andaikan biaya yang digunakan untuk mudik tersebut dikirimkan kepada sanak saudara yang memerlukan pasti akan lebih bermanfaat. Atau, tentu akan lebih bermakna secara sosial jika sebagian rizki yang didapat di rantau untuk berbagi dengan masyarakat setempat.
Hukum wajib, sunat, dan haram tersebut juga bisa berlaku kepada kebiasaan mubah lain dalam merayakan lebaran. Dalam konteks ini pulalah dua lebaran yang lalu (1441 dan 1442 Hijriah), ketika pemerintah melarang mudik karena alasan pandemi, harus kita posisikan dalam konteks demikian. Wabah covid-19 yang telah nyata mudah menyebar dan telah merenggut jutaan nyawa di dunia membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan yang mungkin tidak disukai oleh sebagian kita. Sebagai rakyat waktu kita patut berbaik sangka bahwa yang diputuskan pemerintah adalah semata demi kemaslahatan rakyatnya ( tasharruful imam manutun bil maslahat). Larangan mudik waktu itu harus kita artikan sebagai salah satu bentuk penerapan tujuan syariat, yaitu menjaga jiwa (hifdh al-nafs).
Dalam konteks kita mempersiapkan dan berlebaran, terdapat kalimat bijak yang sering kita dengar:
Tidaklah hari raya itu teruntuk mereka yang berpakaian serba baru
akan tetapi, hari raya itu hanyalah teruntuk
orang yang semakin bertambah ketakwaannya
Itu pula sebabnya mengapa bagi para salihin, sekalipun hari raya itu merupakan hari bahagia, mereka tidak merasa bergembira dengan datangnya hari raya. Tapi dengan datangnya hari raya justru bertambah sedih. Kesedihan ini timbul karena pada hari itulah godaan hawa nafsu dan setan mulai tumbuh subur. Mereka sedih jika pahala puasa yang susah payah dilakukan selama sebulan bisa hancur dengan perilaku setelah ramadlan yang dimulai dengan godaan cara merayakan lebaran ini.
Fenomena praktik menyambut dan merayakan idul fitri sering ditandai dengan kemacetan di berbagai ruas jalan, penuh sesaknya mal, perburuan baju baru dan uang receh untuk angpao lebaran, atau kesibukan lain. Semua aktivitas itu, sekali lagi patut kita ajukan pertanyaan sebagai bahan refleksi. Dengan niat apa semua itu kita lakukan?
Pertanyaan ini menjadi penting agar semua yang kita lakukan menyambut lebaran benar-benar mempunyai makna. Dan, yang lebih penting juga masih dalam konteks menciptakan korelasi dengan ibadah ramadhan kita lakukan. Kalau tidak, gegap gempita menyambut lebaran seperti yang selama terjadi jangan-jangan hanya sekedar bentuk pelampiasan hawa nafsu yang mengarah kepada praktik kehidupan hedonis. Bila ini yang terjadi praktik penyambutan lebaran bukan mustahil justru bisa mencemari jerih payah ibadah puasa kita. Yang lebih penting dan kita takutkan ialah praktik “berlebaran ria” kita justru membuat puasa kita termasuk yang diingatkan rasulullah SAW dalam salah satu haditnya: “Banyak orang yang puasa, tetapi tidak mendapat (pahala) sedikitpun, kecuali hanya rasa lapar dan dahaga”. Semoga tidak.