Nuansa Kekerasan (Hukum) Kepada Kaum Lelaki

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Banjarmasin)

Beberapa hari lalu (23/05/25) Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI menyelenggarakan Bimbingan Teknis. Bimtek berkala kali ini menghadirkan narasumber Syamsul Maarif, S.H., LLM, Ph.D. Tema Bimtek yang bertajuk “Kebijakan Mahkamah Agung Terkait Akses Keadilan (accses to justice) Terhadap Kaum Rentan (vulnerable groups)” yang diselenggarakan dengan durasi 3 jam penuh itu diikuti oleh Hakim Peradilan Agama seluruh Indonesia.

Kaum rentan didefinisikan sekelompok orang yang memiliki risiko lebih tinggi mengalami diskriminasi, ketidak adilan, kesulitan dalam mengakses hak-hak dasar, seperti pendidikan layanan kesehatan pekerjaaan dan perlimdunan hukum. Kelompik ini memerlukan perhatian khusus dalam berbagai kebijakan publik. Mereka yang dikategorikan kelompok rentan adalah anak-anak, lansia, penyandang disabilitas, perempuan (terutamna dalam konteks tertentu), masyarakat adat, pengungsi atau pencari suaka, kelompok miskin atau marjinal, orang-orang dengan penyakit tertentu (seperti HIV/AIDS).
Saya dan pastinya juga para peserta lain tentu menaruh perhatian besar ketika salah satu kelompok rentan tersebut memang yang sering bersentuahan dengan bidang tugas peradilan agama, yaitu perempuan.

Dewasa ini memang sangat terasa bahwa perlindungan kepada kaum perempuan menjadi salah satu platform mengadili perkara pada hukum keluarga. Untuk kepentingan itu, kasus yang paling nyata adalah terbitnya Perma Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Yang Berhadapan Dengan Hukum. Perangkat hukum tersebut pada pokoknya bertujuan ingin memastikan perempuan yang berhadapan dengan hukum mendapatkan perlindungan dan perlakuan yang adil, serta menjamin hak-hak mereka dalam proses peradilan. Secara teknis perma ini kemudian disusul lahirnya beberapa SEMA antara lain yang berisi aturan tentang pembayaran hak-hak istri yang dilakukan sebelum suami mengikrarkan talak pada cerai talak dan pengambilan akta cerai dilakukan oleh suami setelah membayar hak-hak istri yang telah diputus oleh Hakim pada cerai gugat, dalam cerai gugat (perceraian yang diajukan oleh istri) istri dapat menuntut nafkah iddah dan mut’ah. Sebelumnya yang demikian hanya berlaku pada perkara cerai talak (perceraian yang diajukan oleh suami). Seluruh hakim tampaknya telah dengan baik menegakkan aturan tersebut.

Akan tetapi, di tengah euphoria ‘kesuksesan’ pengadilan (para hakim) melindungi kaum perempuan (para janda) terselip nuansa ketidakadilan, yaitu ketika terjadi generalisasi norma. Pembebanan kewajiban kepada kaum lelaki selama ini, cenderung tidak melihat perkara secara kasus perkasus. Termasuk kasus kesetaraan gender. Praktik demikian tentu sangat bertentangan dengan objek kinerja pengadilan yang memang mengadili kasus. Setiap kasus yang datang ke pengadilan selalu memiliki kekhususan yang membedakan kasus yang satu dengan kasus yang lain. Fakta yang tidak bisa terbantahkan adalah, di era sekarang, secara ekonomi sosial, tidak semua perempuan dalam posisi lemah. Atau, sebaliknya tidak semua lelaki dalam posisi superior. Akibat emansipasi yang bermuara kesetaraan gender kini telah mengubah budaya domestik kehidupan keluarga. Kini banyak perempuan yang justru lebih dominan. Banyak sektor riil yang dulu menjadi basis ekonomi laki-laki kini justru dikuasai kaum perempuan.

Fakta lain di lapangan (pengadilan), kini justru banyak perempuan ingin bercerai dengan alasan suami tidak bertanggung jawab secara ekonomi. Kasus cerai gugat kini mendominasi di hampir semua pengadilan agama. Pada saat yang sama perempuan tersebut, menggugat cerai karena ternyata sudah merasa sudah bisa mandiri secara ekonomi. Kehadiran suami yang tidak berpotensi secara ekonomi di keluarga oleh istri hanya dianggap sebagai benalu yang perlu disingkirkan. Dalam banyak kasus demikian, adilkah jika semua suami tetap paksakan harus menanggung beban akibat perceraian? Atau, dengan alasan kesetaraan gender adakah hakim yang berani menghukum istri karena ‘menceraikan’ suaminya yang sedang menderita stroke dan hidup sebatang kara?

Hal-hal tersebut seharusnya menggelitik para pemikir hukum untuk ‘mengevaluasi’ aturan hukum yang ada. Pemikiran kita tentang perempuan selama terasa tidak konsisten. Di satu sisi mendengungkan kesetaraan gender di sisi lain dalam hal hak dan kewajiban suami istri masih bias gender. Ironisnya, aturan hukum tentang hak dan kewajiban suami istri ini sebagian diakibatkan oleh fikih klasik yang maskulin namun tidak ‘dijalankan’ secara konsisten, seperti pembenanan kewajiban nafkah hanya kepada suami.

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait