MAKASSAR–Beritalima.com Generasi Millenial menjadi bahasan yang cukup menarik dalam kontestasi panggung politik di Indonesia, bukan tidak mungkin generasi millenial seyogyanya adalah generasi pemimpin di masa yang akan datang dan diprediksi akan unjuk gigi pada kontestasi politik tahun 2019.
Namun, stigma bahwa anak muda zaman sekarang emoh terhadap politik menjadi tantangan tersendiri bagi kaum millenial. Betulkah mereka hadir mewakili kaum millenial atau hanya sebagai pelengkap dalam perjuangan dinasti keluarga misalnya, ataukah hanya sekadar objek politik untuk meraih kekuasaan yang lebih besar?
Berdasarkan data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) jumlah pemilih millenial sekitar 70-80 juta jiwa pemilih dari 193 juta pemilih. Artinya sekitar 35-40% memiliki pengaruh besar terhadap hasil pemilu di 2019.
Uniknya, berbeda dari pemilu sebelumnya, kali ini kaum millenial tidak hanya berperan sebagai pemilih melainkan bertindak sebagai aktor utama dengan ikut bertarung pada pemilihan legislatif mulai dari tingkat daerah kab/kota hingga level pusat.
Tercatat, menurut data yang dirilis Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) terdapat sekitar 20% caleg yang berasal dari kaum millenial. Sebuah fenomena yang menarik di era sekarang, sebab kompetensi kaum muda akan tertulis dalam tinta sejarah bahwa generasi ini benar-benar mampu membuktikan diri dan pantas mewakili aspirasi 30% kaum millenial.
Ada banyak sudut pandang yang mendukung namun tidak sedikit dari mereka yang kurang sepakat. Ada yang mengira bahwa generasi millenial perlu melek politik namun belum masanya untuk terjun ke politik praktis dan masih banyak lagi anggapan-anggapan lain.
Jika ditelisik lebih dalam sebenarnya ada banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut, entah karena memang cuek terhadap politik atau karena generasi millenial lebih disibukkan seputar aktivitas kesehariannya yang jauh dari proses politik, seperti olahraga, musik lifestyle dan sebagainya.
Alvara Research Center misalnya, menilai bahwa kaum millennial cenderung cuek terhadap perpolitikan Indonesia. Dalam survei terbarunya hanya sekitar 22% kaum millenial yang mengikuti politik. Oleh karenanya, kaum millenial merupakan populasi yang cukup rumit untuk digarap bagi para calon legislatif di momentum politik ini. Artinya untuk meyakinkan mereka perlu pendekatan yang lebih kekinian sesuai dengan dunianya mereka.
Bahkan, salah satu data yang mencengangkan adalah hasil survei yang telah dilakukan Fraksi Muda Indonesia (FMI), sebuah organisasi pendidikan politik pemuda di Sulawesi Selatan, tentang kepercayaan generasi muda kepada caleg millenial dinilai sangatlah rendah, sebanyak 73 % pemuda tidak percaya terhadap caleg muda.
Dari data tersebut mempresentasekan bahwa kepercayaan millenial tergolong masih sangat rendah.
Hal itu tentu menjadi gambaran secara umum terhadap kepercayaan politik (political trust) dengan harapan masyarakat (public expectation) masih belum terkoneksi dengan baik jika dipercayakan kepada generasi millenial, sebab kualitasnya masih sangat diragukan.
Oleh karena itu, perlu pendidikan politik dan pengembangan kualitas millenial agar mantap menatap kursi parlemen, dalam artian millenial harus mempersiapkan modal dan mampu membuktikan kualitasnya kepada public.
Maka dapat dipastikan, bahwa generasi millenial masih abu-abu jika berhasil terpilih menjadi salah satu anggota parlemen. Apakah mampu atau terkesan dipaksakan ? hanya waktu yang menjawab keterwakilan tersebut.
Namun bukan berarti akan menjadi sanksi politik bagi kaum millenial di masa yang akan datang, sebab belum terlambat untuk membantah semua kemungkinan-kemungkinan itu.
Dengan modal semangat dan jiwa optimisme serta kreatifitas yang mumpuni kaum millenial pada beberapa kondisi memang patut dan layak untuk diperhitungkan di panggung politik. Dalam artian, kompetensi kaum millenial yang ikut bertarung di Pileg betul-betul dipertaruhkan untuk meraih kepercayaan publik pada hari ini, esok dan di momen-momen politik di masa yang akan datang. (*)