SURABAYA – beritalima.com, Persidangan kasus menempatkan keterangan palsu dalam akta otentik penetapan pengampuan, dengan terdakwa Sjokoer Djojo dan Yusuf Moeljono Djojo kembali digelar di ruang sidang Garuda 2 Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Senin (9/9/2019).
Sidang yang dipimpin Hakim Dwi Purwadi dan hakim anggota Wayan Sosiawan dan Efendi Mashuri ini beragendakan pemeriksaan dua orang saksi pelapor yaitu Ojong Parintis Manopo dan Sudarma.
Dalam kesaksiannya, Ojong menyebut bahwa Fadjar Sugito adalah pemilik tanah di Jalan Urip Sumohardjo No.35-37 tembus ke Jalan Keputran No. 20-22 Surabaya.
Pada saat Fadjar sakit di tahun 1993, dia mendapat surat pengampuan Nomer 1580 yang diajukan oleh Yusuf Moeljono Djojo, teman baiknya yang punya hubungan erat seperti saudara. Tahun 1993. Dalam penetapan pengampuahan tersebut dinyatakan bahwa Fadjar Sugito tidak mempunyai ahli waris, selain Yusuf Moeljono.
“Ternyata, pengampuan yang diajukan Yusuf Moeljono tersebut ternyata penuh kebohongan. Sebab pada tahun 1995, adik kandung Fadjar Sugito yang bernama Yo Keng Seng muncul menggugat Yusuf Moeljono. Ternyata Fadjar Sugito punya ahli waris,” kata Ojong dihadapan Ketua Majelis Hakim dan hakim anggota, serta Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ali Prakosa.
Masih dihadapan hakim, Ojong mengakui dalam pengampuhan tersebut posisi Fadjar Sugito memang sakit, tapi sakitnya tidak seperti yang dipersyaratkan dalam pasal 433 KUHPerdata yaitu gila. Fadjar Sugito juga sama sekali tidak kenal dengan Yusuf Moeljono, Fadjar Sugito dan adiknya juga tidak pernah didengar kesaksiannya dalam sidang permohonan pengampuan.
Lalu Yo Keng Seng, menggugat pengampuhan Fadjar Sugito. Hasilnya, pengampuan nomer 1580 yang diajukan oleh Yusuf Moeljono tersebut dinyatakan batal demi hukum dengan segala konsekwensi yuridisnya sejak September 1995 melalui putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor. 583/ Pdt.G/ 1996/ PN.SBY yang dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya No. 859/ Pdt/ 1997/ PT.SBY tanggal 08 Juli 1998 dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor.1104K/ Pdt/ 1999 tanggal 11 Mei 2001 dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor. 413PK/ Pdt/ 2011 tanggal 24 Oktober 2011.
“Artinya, Yusuf Moeljono tidak punya legal standing sama sekali atas obyek tanah di Jalan urip Sumohardjo No.35-37 tembus ke Jalan Keputran No. 20-22 Surabaya,” aku Ojong Parintis.
Dikatakan juga oleh Ojong, sebelum penetepan pengampuan No 1580 keluar pada tahun 1993, ternyata pada tahun 1990 Fadjar Sugito sudah menjual hartanya kepada PT. Semoga Raya.
“Tahun 1993 keluar penetapan pengampuan, tahun 1994 Yusuf Moeljono selaku pihak pengampu menjual harta Fadjar Sugito ke PT Yuseful Utama yang direkturnya adalah Sjokoer Djojo, kakak kandung dari Yusuf Moeljono sendiri,” tandas Ojong.
Kepada majelis hakim, Ojong juga menyatakan pada tahun 2002, dirinya membeli tanah dan bangunan di jalan Urip Sumohardjo No.35-37 tembus ke Jalan Keputran No. 20-22 Surabaya dari PT. Semoga Raya.
“Saya beli dari PT. Semoga Raya pada 2002 milik Bambang Irwanto. Bambang beli dari Fadjar Sugito sebelum pengampuan. Nah, pada saat akan saya melakukan eksekusi pada tahun 2018 ternyata ada gugatan perlawanan dari Sjokoer Djojo dan Yusuf Moeljono Djojo atau kedua terdakwa. Dasarnya penetapan pengampuan nomer 1580,” tambah Ojong.
Sementara saksi Sudarma membenarkan bahwa dirinya sebagai penasehat hukum dari Ojong Parintis Manopo. Dalam kesaksianya, Sudarma mengaku pada tahun 2018 dia mendapatkan infirmasi dari stafnya pada saat legalisir di PN Surabaya adanya usaha gugatan perlawanan terkait obyek atas tanah sengketa yang dia ketahui adalah tanah milik PT Semoga Raya yang sudah dujual kepada Kliennya PT Bina Mobira Raya.
“Terus saya datang ke PN Surabaya menanyakan gugatan perlawanan tersebut. Saya jelaskan bahwa tanah ini awalnya milik PT Semoga Raya yang sudah dijual kepada PT Bina Mobira Raya,” ujar Sudarma.
Usai sidang, penasehat hukum terdakwa Sjokoer Djojo dan Yusuf Moeljono Djojo, Dadang Risdianto, menandaskan kalau dakwaan JPU terlalu dipaksakan.
Pasalnya, dalam gugatan perlawanan atas eksekusi hanya diajukan oleh terdakwa satu saja yakni Sjokoer Djojo, dan terdakwa 2 yaitu Yusuf Moeljono Djojo dalam kapasitas tidak sebagai pihak penggugat dan tidak melakukan jawab menjawab,
“Sebaliknya, terdakwa 1 pada gugatan pembatalan pengampuan pada posisi tidak tahu kalau ada gugatan pembatalan. Apalagi dalam putusannya, Pengadilan Jember menyatakan bahwa Sujono tersebut bukan saudara atau ahli waris dari Fadjar Sugito.” pungkasnya.
Diketahui, pada 23 November 2018 Ojong Parintis Manopo selaku Direktur PT. Bina Mobira Raya menerima Relaas panggilan sidang dari Pengadilan Negeri Surabaya terkait adanya Perkara Perdata Nomor : 1093/ Pdt.BTH/ 2018/ PN.SBY, Perihal : Gugatan Perlawanan Eksekusi Terhadap Permohonan Eksekusi Perkara Nomor : 72/ EKS/ 2018/ PN. SBY Jo. Nomor : 258/ Pdt.G/ 2018/ PN.SBY yang diajukan oleh Sjokoer Djojo.
Pada gugatan perlawanan tersebut Sjokoer Djojo bersama-sama dengan Yusuf Moeljono Djojo menyatakan sebagai Wali Pengampu dari Fadjar Sugito, sepakat melakukan jual beli bangunan-bangunan yang berdiri diatas Hak atas tanahnya masing-masing seluas 502 m2 yang terletak di Jalan Keputeran No. 20-22 Surabaya, Sertifikat Hak Guna Bangunan No.302, dengan Surat Ukur No. 430/ 1939 dan bangunan yang berdiri diatas Hak atas tanahnya seluas 6.560 m2 yang terletak di Jalan Urip Sumohardjo No.35-37 tembus ke Jalan Keputran No. 20-22 Surabaya.
Padahal pengampuan yang dipakai oleh Sjokoer Djojo dan Yusuf Moeljono Djojo sebelumnya bahwa sudah dinyatakan batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berikut segala konsekwensi yuridisnya ditingkat Pengadilan Negeri Surabaya, Oengadilan Tinggi Surabaya dan di tingkat Mahkamah Agung RI. (Han)