SURABAYA, beritalima.com | Panjang penuh liku, kalimat yang menjadi pembelajaran pahit namun sangat berharga bagi seorang aktivis perempuan, ning Lia Istifhama. Putri alm KH Masykur Hasyim tersebut, mengakui rumitnya perjuangan yang harus dilalui demi memperjuangkan hak orang tuanya, terlebih melibatkan hak sosok terkasih yang kini telah menghadapi Illahi.
“Ayah saya telah menutup mata dengan begitu indah pada 2 April 2020 lalu. Dua minggu sebelum wafat, saya pernah berjanji pada beliau bahwa masalah yang beliau hadapi, pasti akan selesai, jadi janji tersebut harus mampu ditepati. Apalagi, sebelum wafat, beliau pernah berpesan pada penjual soto depan rumah, bahwa beliau selalu kepikiran keadaan’ kami, yaitu ibu saya dan semua kakak kandung saya”, ujarnya (14/3).
Janji tersebut adalah berkaitan dengan perjuangannya melawan sindikat penipuan yang menjadikan Pondok Pesantren Mahasiswa Roudlotul Banin Wal Banat, terjebak dalam sengketa hukum.
Adalah Hj. Aisyah, istri KH. Masykur Hasyim yang sekaligus ibunda dari ning Lia, sebelumnya telah gagal memperjuangkan haknya atas asset pondok pesantren yang berlokasi di Jemurwonosari 54 Surabaya di Pengadilan Negeri Surabaya, kini masih menunggu proses Banding di Pengadilan Tinggi.
“Januari lalu putusan di PN Surabaya ternyata belum menjadi hadiah indah atas proses perjuangan yang sudah berjalan sejak 2015 lalu, tepatnya sejak sertifikat ponpes dibawa orang yang mengakui sebagai pembeli aset ponpes. Dan perjuangan ini sangat panjang, unik, dan rumit. Bahkan, kebenaran dan nalar logika seakan tidak memberikan mata hati penegak hukum.”
Secara lugas, ning Lia yang kini maju sebagai Bacalon DPD RI, menjelaskan secara detail tentang kebenaran yang menurutnya dikaburkan oleh pihak tertentu.
“Kejadian yang menimpa ponpes, sebenarnya secara lugas sangat bisa dipahami bahwa ini adalah hasil kerjasama sindikat yang licik dan terkoordinir dengan rapi. Contohnya dalam hal pembuatan perjanjian jual beli, bagaimana bisa sebuah perjanjian yang secara lisan notaris menyampaikan pada orang tua saya bahwa ini perjanjian utang piutang, tapi kemudian kok menjadi jual beli? Sedangkan, orang tua saya tidak menyiapkan dokumen seperti halnya pihak penjual, seperti bukti pembayaran PBB dan sebagainya, termasuk proses negosiasi harga karena memang tidak ada tujuan kesitu.”
“Hal kedua adalah pembuatan rekening Bank. Bagaimana bisa oknum pegawai Bank tersebut membuatkan rekening sedangkan ayah saya tidak tahu ada rekening atas nama beliau? Jadi tidak pernah ayah saya datang ke kantor cabang tersebut untuk tanda tangan sebuah rekening terkait ponpes itu. Namun tiba-tiba sudah ada rekening dan Andreas yang mengaku beli ponpes, mengirimkan dana ke rekening tersebut tanpa konfirmasi ke orang tua saya, melainkan pada Prayogi Utomo, teman si Andreas yang sebenarnya sudah ditetapkan sebagai tersangka, sehingga uang pun bisa langsung dicairkan oleh Prayogi tanpa sama sekali pihak bank menghubungi orang tua saya bahwa ada rekening tersebut, apalagi terkait aliran dana.”
Kisah pahit tersebut, bagi Ning Lia adalah Kewajiban utama bagi anak agar memperjuangkan hak orang tuanya, apalagi jika salah satunya telah meninggal dunia.
“Ayah saya telah wafat, dan wajib bagi kami, anak-anaknya, agar memperjuangkan hak beliau, yaitu mimpi beliau agar pondok pesantren tetap berjalan sebagai ponpes dan melawan fitnah yang selama ini dibangun oleh sindikat penipuan tersebut.”
“Harapan saya, kisah ini menjadi pengingat agar kita semua yang masih hidup, jangan gentar membela orang tua, apalagi jika orang tua kIta sudah wafat. Karena bakti anak tidak boleh putus, melainkan penting sekali kita senantiasa tetap bersemangat, berjuang agar orang tua kita bisa tersenyum bahagia melihat hasil perjuangan kita kelak,” pesannya.