Pabrik Tepung PT BSSW Diminta Buat Analisis Persepsi Publik

  • Whatsapp

PONOROGO, beritalima.com- Kemelut PT BSSW dengan warga Desa Tajug Kecamatan Siman, Ponorogo, Jawa Timur, mulai terurai. Karena sebelumnya, masuknya PT Budi Starch & Sweetener, Tbk (BSSW), sebagai investor baru pabrik tepung tapioka di Desa Tajug, Kecamatan Siman, Ponorogo, yang diterima ‘setengah hati’ oleh warga membuat Kantor Lingkungan Hidup harus turun tangan. Perusahaan ini diminta membuat analisis persepsi publik atas operasional pabrik yang akan dilakukannya.

Kepala Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Ponorogo, Adam Parikesit, mengatakan, pihaknya memberi waktu dua pekan mulai Kamis (11/8) kepada manajemen BSSW untuk menyusun analisis persepsi publik ini. Analisis ini diperlukan untuk memunculkan rekomendasi lingkungan atau semacam izin lingkungan yang belum bisa muncul karena Kabupaten Ponorogo belum memiliki kelengkapan untuk menerbitkan izin lingkungan ini.

“Izin lingkungan di kita ini masih berupa rekomendasi lingkungan. Hal ini lebih luas timbang izin HO (hinder ordonantie/izin gangguan) yang hanya butuh tetangga depan, belakang, kiri dan kanan. Rekomendasi ini meliputi seluruh wilayah terdampak. Apakah bau, bising dan sebagainya. Untuk itulah kita hadirkan, kita ajak rapat. Termasuk dinas terkait seperti Dishub, Dinas PU, Dinkes, KPPT dan lainnya ,” terang Adam, kepada wartawan, Kamis 11 Agustus 2016.

Untuk memunculkan analisis ini, lanjut Adam, BSSW wajib menggelar sosialisasi kepada warga. Dari situ akan diketahui reaksi atau respons warga atas berbagai hal yang ditimbulkan pabrik. Reaksi dan respons inilah yang kemudian bisa ditarik ulur untuk sebuah kompensasi atas hal-hal yang ditimbulkan atas beroperasinya pabrik.

Hal ini termasuk munculnya onggok atau ampas singkong yang diperebutkan antara warga dan BSSW. Dari pemaparan BSSW dalam rapat di gedung KLH Ponorogo kemarin diketahui, BSSW akan mengolah kembali onggok dengan cara fermentasi sehingga menghasilkan gas metan. Gas ini akan dimanfaatkan sebagai bahan bakar mesin pabrik.

“Pemilik baru pabrik tepung tapioka beda dengan yang lama. Mereka akan memanfaatkan sisa produksi semaksimal mungkin sehingga limbah yang muncul seminimal mungkin. Ini yang tidak dilakukan oleh perusahaan yang sebelumnya (PT Sari Tanam dan PT Sorini Agro) yang membiarkan onggok diambil warga,” lanjutnya.

Ditambahkannya, bau tak sedap yang selama ini tercium di sekitar pabrik muncul dari proses pengeringan atau penjemuran yang tidak benar.

Pola pemberian onggok ke warga, lanjut Adam, tidak diinginkan BSSW sebab terbukti saat dilakukan justru menimbulkan polusi udara dan justru membuat perusahaan merugi dan bangkrut.

“Mereka (BSSW) maunya memberikan CSR (Corporate Social Responsibility/tanggung jawab sosial perusahaan). Besaran CSR ini yang bisa ditarik ulur. Ini yang harus ditawarkan ke warga sebagai kompensasi,” ujar Adam.

Salah satu manajer BSSW, Suyanto, tidak berkomentar banyak. Ia hanya menyatakan bahwa ia memenuhi panggilan KLH untuk melengkapi berbagai berkas dan dokumen serta perizinan yang ada. “Ya kita memenuhi itu saja. Selain itu nanti akan diurus oleh konsultan kami. Dam kami yakin akan bisa segera beroperasi,” katanya.

Sementara itu dalam rapat di KLH, pihak Desa Tajug diwakili oleh Sekdes Tajug, Samuri. Samuri juga tidak bersedia berkomentar banyak soal hasil rapat yang digelar. “Untuk penyempurnaan dokumen saja. Untuk operasional pabrik (oleh BSSW),” katanya.

Pengoperasian pabrik tepung tapioka di Desa Tajug terancam batal. Ini setelah warga setempat dan PT BSSW yang baru saja mengambil alih pabrik tersebut dari tangan PT Sorini Agro (anak perusahaan PT Cargill) dan warga setempat masih ribut berebut onggok.

Warga sekitar menuntut BSSW memberikan onggok atau ampas sisa penggilingan singkong kepada warga untuk diolah lagi sebagai pakan ternak. Mereka meminta jatah empat karung onggok untuk setiap warga setiap kali beroperasi. Jumlah warga yang harus diberi onggok adalah 150 orang. Atau total mencapai 600 karung onggok per hari. Jumlah ini adalah jumlah onggok yang selama ini diberikan oleh PT Sari Tanam dan PT Sorini Agro.

Sejak pengambilalihan pabrik April lalu, mesin belum beroperasi sama sekali. Ini karena belum terdapat titik temu soal onggok dan kompensasi yang bisa diberikan ke warga setempat. Bahkan, dalam sosialisasi yang mirip mediasi yang dipimpin sendiri oleh Bupati Ponorogo Ipong Muchlissoni, pada Rabu (10/8)lalu kesepakatan belum tercapai. (Dibyo)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *