SURABAYA, Beritalima.com |
Media sosial menjadi salah satu bagian dari teknologi yang tidak dapat dipisahkan di kehidupan sehari-hari. Meski demikian, media sosial bisa memberikan dampak baik maupun buruk, bergantung pemanfaatannya. Menjadi penghubung komunikasi antar manusia dan penyedia informasi terkini adalah contoh dampak positif dari media sosial.
Hanya saja, semakin canggih teknologi, penggunaan media sosial banyak disalahgunakan oleh pihak tertentu. Saat ini, banyak para pengguna media sosial menjadi korban penipuan yang bermula dari pencurian data pribadi.
Dosen Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Airlangga, Badrus Zaman, S. Kom., M.Cs,, menuturkan bahwa dalam bermedia sosial harus dipahami bahwa informasi yang telah dibagikan mengandung konsekuensi. Konsekuensi tersebut bergantung seberapa detail informasi yang dibagikan.
“Semakin banyak informasi detail yang kita (pengguna media sosial, Red) bagikan, maka semakin rentan curian data yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak berkepentingan dan tidak bertanggung jawab,” tutur dosen Sistem Informasi tersebut pada Rabu (21/04/21).
Social engineering menjadi awal mula maraknya penipuan dan pencurian data di media sosial. Hal itu didasari seberapa banyak informasi yang didapat oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Badrus- sapaan akrabnya, mengungkapkan bahwa sebenarnya data yang tersedia di media sosial tidak harus dicuri. Hal ini karena data tersebut telah disediakan oleh pengguna secara sadar atau tidak sadar dengan membagikan informasi detail yang dimilikinya.
Dengan memanfaatkan informasi yang tersedia di media sosial, siapa pun dapat memanfaatkan informasi tersebut dan kemudian dapat digunakan untuk berbagai hal tergantung seberapa banyak informasi yang didapatkan. Pemanfaatan informasi ini juga dapat berdampak pada hal yang paling krusial, yakni akuisisi akun pengguna sehingga pegguna tidak bisa masuk ke akun media sosial miliknya.
Akuisisi data tersebut, sambungnya, sebenarnya dapat dicegah dengan memanfaatkan fitur yang sudah ada, yakni double cross check. Fitur double cross check dapat mempermudah pengguna untuk mengetahui bila ada perangkat baru yang ingin mengakses akun media sosial miliknya.
Namun, tidak dapat dipungkiri masih banyak pengguna yang tertipu dengan ketidakpedulian atau ketidaktahuan pengguna adanya sistem double cross check tersebut.
“Artinya semua itu tergantung dari pemilik sosial media. Biasanya dipicu dengan pemiliknya yang kurang aware. Rata-rata sebagian besar menggunakan social engineering dengan pendekatan mengelabui pengguna yang asli,” tambah Badrus.
Selain cara akuisisi data, ada pula cara lain yang juga sedang marak saat ini yaitu memberikan informasi melalui kiriman link. Link tersebut bisa jadi menuju kepada suatu aplikasi atau script-script yang tujuannya untuk mencuri data misalnya history aktivitas browser, informasi yang tersimpan sementara di folder tertentu di hand-phone atau laptop.
Baginya, penipuan dengan link sangat mudah diketahui dengan cara melihat link yang dibagi adalah link resmi atau tidak.
“Jadi, sederhananya lihat saja link-nya. Misalkan ada link detik dot com, sebelum detik dot com itu ada tambahan seperti detik blabla dot com. Biasanya yang sebelum dot com atau dot net itu enggak jelas berarti itu penipuan,” terangnya.
Badrus menekankan bagi pengguna sosial media sebaiknya menghindari pemanfaatan fitur remember password dan username pada browser saat menggunakan perangkat laptop yang dipakai bersama. Itu ditujukan untuk meminimalisir dampak buruk yang mungkin terjadi, misalnya pencurian data pribadi. (Yul)