Pahlawan, Luka, dan Pengampunan Sejarah

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi

(Hakim PTA Banjarmasin)

Opini, beritalima.com | Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 116/TK /Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional, pemerintah telah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada beberapa tokoh. Tahun ini, ada 10 nama penerima gelar Pahlawan Nasional 2025 yaitu: Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (Jawa Timur)
Jenderal Besar TNI Soeharto (Jawa Tengah), Marsinah (Jawa Timur),Mochtar Kusumaatmadja (Jawa Barat), Hajjah Rahmah El Yunusiyyah (Sumatera Barat),Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo (Jawa Tengah), Sultan Muhammad Salahuddin (NTB), Syaikhona Muhammad Kholil (Jawa Timur), Tuan Rondahaim Saragih (Sumatera Utara), Zainal Abidin Syah (Maluku Utara).

Khusus untuk Pak Harto, yang sebelumnya menuai pro dan kontra, pada akhirnya, sejarah memang mengajarkan bahwa manusia tidak pernah benar-benar hitam atau putih. Seorang tokoh bisa saja meninggalkan jejak yang harum sekaligus bayang-bayang yang kelam. Kita mengenang jasa-jasa, tetapi kita juga tidak bisa menutup mata dari kekurangan yang pernah diperbuat. Itulah watak sejarah: ia tidak tunduk pada perasaan, tetapi berusaha menimbang dengan seimbang.

Gelar pahlawan sejatinya bukan sekadar penghargaan negara kepada individu, melainkan sebentuk pengakuan bahwa hidup seseorang telah memberi manfaat bagi bangsa pada titik-titik tertentu dalam perjalanan sejarahnya. Tentu saja, setiap tokoh yang dianugerahi gelar itu tidak terlepas dari silang pandang. Ada kepentingan politik, ada memori kolektif yang berbeda-beda, bahkan ada luka yang belum sembuh. Tetapi sejarah tidak meminta kita melupakan luka itu. Ia hanya meminta kita untuk tidak terjebak di dalamnya.

Dalam hal penetapan gelar pahlawan bagi Presiden Soeharto dan tokoh-tokoh lain yang diumumkan pada Hari Pahlawan kali ini, sesungguhnya bangsa ini sedang kembali belajar: bahwa menilai sosok secara utuh memerlukan kedewasaan sosial. Soeharto bagi sebagian orang adalah penopang stabilitas nasional, penakluk inflasi, pembangun fondasi pertanian dan infrastruktur, pemberi harapan pada masa transisi pasca-1965. Namun bagi sebagian yang lain, ia adalah representasi otoritarianisme, pembungkaman demokrasi, dan lahirnya oligarki. Kedua pandangan itu tidak salah. Keduanya lahir dari pengalaman yang berbeda.

Namun apakah gelar pahlawan berarti melupakan kesalahan? Tidak. Gelar itu bukan sertifikat kesucian. Ia tidak menghapus sejarah, ia hanya menegaskan bahwa ada kebaikan yang pernah diperbuat dan manfaat yang pernah dirasakan oleh bangsa secara luas. Sementara sisi-sisi gelapnya tetap menjadi pelajaran, tetap menjadi ingatan, tetap menjadi peringatan agar kesalahan yang sama tidak diulang. Kalau mau jujur, kita bisa dalam situasi sekarang secara tidak langsung juga belajar dari beliau, termasuk belajar dari beberapa kesalahan yang pernah diperbuat saat memimpin bangsa.

Dalam konteks inilah, bangsa yang dewasa adalah bangsa yang berani menatap sejarah dengan jernih. Kita tidak alergi mengakui jasa pada saat yang sama kita juga tidak ragu menyebut kekeliruan. Kita tidak mendewakan siapa pun tetapi kita juga tidak menistakan siapa pun. Kita belajar menilai tokoh, bukan sekadar mencintai atau membencinya.

Sebagaimana tokoh-tokoh lain dalam daftar sepuluh pahlawan tahun ini: Gus Dur yang humanis, Marsinah yang berani, Sarwo Edhie yang kontroversial tetapi punya catatan penting dalam sejarah militer, hingga Syaikhona Kholil yang menanamkan akar keilmuan pesantren. Semuanya membawa pelajaran masing-masing. Masing-masing pernah keliru, tetapi masing-masing juga pernah memberi cahaya.

Tugas kita sebagai generasi penerus adalah merawat ingatan, bukan dendam. Mewarisi hikmah, bukan amarah. Mengapresiasi jasa, sekaligus menjadikan kekurangan sebagai pagar agar kita tidak jatuh ke lubang yang sama. Bangsa yang dewasa bukan bangsa yang cepat memaafkan, tetapi bangsa yang mampu memahami. Memahami bahwa hidup manusia selalu bergerak antara benar dan salah.

Dan, dari sanalah peradaban tumbuh. Semoga Hari Pahlawan ini bukan hanya peringatan seremonial, tetapi momentum untuk mengenali pahlawan di dalam diri kita masing-masing: yang berani jujur, berani memperbaiki diri, dan berani menjaga masa depan agar lebih adil bagi seluruh anak negeri.

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait