“Ayah adalah pahlawan terbaik bagi anak-anaknya”
beritalima.com | Rasanya kalimat di atas benar adanya, tidak berlebihan. Memang benar bahwa ayah adalah pahlawan terbaik bagi anak-anaknya. Semesta pun turut mengamininya.
Taip, dialah ayahku. Nama yang sederhana, begitu pun dengan orangnya. Penampilannya, gaya hidupnya, tutur katanya, pola pikirnya, semua sederhana. Ia hanya lulusan SD, ya sekolah dasar. Tapi hebatnya ia mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai ke jenjang perkuliahan. Bahkan salah satu anaknya berhasil mendapatkan gelar sarjana. Hebat bukan?
Aku anak kedua dari tiga bersaudara. Saat ini aku sedang menjalani perkuliahanku, semester empat di salah satu Politeknik Negeri di Jakarta. Tepat 20 tahun aku hidup, kekagumanku padanya tidak berkurang sedikit pun. Sehebat itu memang. Dia cinta pertamaku sekaligus laki-laki pertama yang cinta kepadaku.
Teringat memori saat aku masih kecil. Ayahku rela menjalani profesi apapun untuk menafkahi keluarga kecilnya. Semua ayah akan melakukan hal yang sama bukan? Ayahku hanya tamatan sekolah dasar, tidak banyak kemampuan yang ia punya. Maka ia hanya bisa berdagang. Semua jenis usaha telah ia lakukan. Mulai dari berjualan gorengan, es kelapa, sayuran, ketoprak, hingga warung nasi. Namun bukan hanya pedagang saja profesi yang bisa ia jalani. Ia juga pernah menjalani profesi lain yaitu sebagai kuli bangunan. Ia amat pekerja keras. Tidak mau ia luangkan waktunya barang sebentar saja dengan bersantai. Selalu ada yang ia kerjakan, apapun itu.
Pernah suatu ketika ayahku mencoba peruntunganya membuka usaha warung nasi. Dengan modal pas-pasan yang telah ia kumpulkan dari hasil usahanya yang beragam, ayahku memberanikan diri membuka usaha warung nasi kecil-kecilan. Namun ekspektasi tidak selalu sesuai dengan realita. Realitanya, tidak semudah itu. Warung nasi yang lokasinya kurang strategis itu kurang menarik banyak pelanggan. Sepi, begitulah kiranya. Namun ayahku tak patah arang. Ia menjalani profesi lain sebagai sambilan. Hitung-hitung untuk menambah pendapatan, katanya.
“Yaudah, warteg biar kamu yang ngurus. Nanti dibantu sama anak-anak. Aku mau coba jadi kuli bangunan. Trus malamnya lanjut coba jualan ketoprak. Lumayan buat nambah-nambah penghasilan,” ucapnya kepada ibuku.
Lihat, betapa hebatnya ayahku. Mengorbankan siang dan malamnya mencari rezeki untuk keluarganya. Siang hari ia menjadi kuli bangunan. Mengerjakan pekerjaan berat di tengah teriknya matahari. Merelakan tubuhnya basah diguyur keringat. Membiarkan kulitnya hitam dibakar matahari. Kemudian malamnya ia berjualan ketoprak hingga larut malam. Dinginnya malam yang menusuk seakan ia hiraukan. Semua itu ia lakukan untuk kami, keluarga kecilnya. Bibirnya tidak pernah mengucap kata lelah. Namun kata itu tergambar jelas dari raut wajahnya.
Semangatnya untuk mencari nafkah tidak berhenti pada masa itu saja. Hingga saat ini ia masih menjadi sosok yang pekerja keras. Saat ini keluarga kami telah memiliki warung nasi sendiri. Semua itu berkat kerja kerasnya dan dukungan ibuku tentunya. Penghasilannya pun lumayan, bisa untuk mencukupi kebutuhan kami. Bisa untuk membayar biaya kuliahku dan biaya sekolah adikku. Perjuangannya perlahan membuahkan hasil. Keluarga kami sekarang sudah berkecukupan.
Ayahku selalu menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Terlebih masalah pendidikan. Mengingat pendidikannya hanya sampai sekolah dasar, ia tidak ingin jika anaknya merasakan hal yang sama. Ia ingin anak-anaknya menjadi orang terpelajar. Mencapai tingkat pendidikan setinggi-tingginya. Supaya kami, anak-anaknya, bisa meraih cita-cita setinggi mungkin. Mengubah nasib dan derajat keluarga. Itu yang ia inginkan.
Ia tidak pernah memaksa kami untuk menjadi ini dan itu. Ia sangat membebaskan kami melakukan apapun yang kami mau, selagi itu positif. Ia selalu memperingatkan kami, anaknya, untuk selalu di jalan yang benar. Tidak boleh melakukan hal yang tidak baik dan selalu mengingat tuhan di mana pun kami berada.
“Cita-cita kamu ya kamu yang menjalani. Lakukan apa yang kamu suka. Belajar yang bener, jangan macem-macem. Biar kamu jadi orang sukses.”
Memiliki dua anak perempuan membuat ayahku menjadi sosok yang sedikit protective. Ia selalu khawatir jika anak perempuannya pulang larut malam. Ia selalu menelfon anak perempuannya setiap melakukan aktivitas di luar rumah. Bahkan saat masih SMA, aku selalu ditelfon untuk segera pulang sebelum maghrib tiba. Namun perlahan saat memasuki dunia perkuliahan, ayahku memberi sedikit kelonggaran. Aku boleh pulang maksimal pukul 9 malam. Jika lebih dari itu, ia akan memarahiku dan menasihatiku. Tapi aku tahu, itu semua ia lakukan karena ia sayang kepadaku dan kakakku.
Ayah adalah sosok pahlawan yang nyata untuk setiap wanita. Figurnya selalu layak untuk dicinta. Canda tawa dan kasih sayangnya selalu menghangatkan suasana. Perjuangannya pun tidak main-main. Selalu berkorban, melakukan yang terbaik untuk anak dan keluarganya. Ia lah pahlawan sejatiku, ayah.
Terlepas dari bagainanapun ayahku dan segala kekurangannya. Ia selalu menjadi sosok pahlawan terbaik untukku. Apapun yang ia lakukan pastinya yang terbaik untuk anak-anaknya. Meskipun ayah sosok yang sedikit kaku, tapi kasih sayangnya jelas terlihat dari sikapnya. Terihat dari bagaimana ia memimpin keluarganya. Sosok ayah selalu menjadi sosok lelaki idaman untuk anak perempuannya. Harapku supaya ia sehat selalu. Diberikan umur yang panjang oleh tuhan. Supaya kelak ia bisa melihat anak-anaknya sukses. Ia harus merasakan hasilnya. Hasil dari didikan dan perjuangannya. Semoga ia bahagia selalu sampai akhir nanti. Sampai raganya berpisah dengan jiwa pahlawannya.
Maya Selawati Dewi-Politeknik Negeri Jakarta