Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim PTA Banjarmasin)
Di suatu aneka lomba anak-anak, seorang guru berkomentar. Komentar itu sekilas memang agak aneh. Mengapa? Lomba makan krupuk sudah lazim terjadi. Bahkan, tidak hanya anak-anak, pada acara memeriahkan HUT Kemerdekaan atau Agustusan pun orang dewasa juga menirukannya. Makan krupuk yang digantung dengan seutas tali dan dimakan dengan tangan terikat ke belakang ini menjadi lebih terlihat lucu, justru jika pesertanya orang tua/dewasa.
Dalam komentarnya sang guru pengritik itu pun menyampaikan alasannya. Menurutnya, lomba itu tidak mempunyai nilai edukatif, khususnya dalam hal makan. Orang makan mempunyai tatakramanya sendiri. Sebagai manusia yang berbudaya, cara makan manusia berbeda dengan yang bukan manusia. Manusia makan dengan tangan sedanagkan binatang, yang tidak bertangan, langsung dengan mulutnya. Saat makan manusia harus mencuci tangan dan berdoa. Tuntutan seperti itu tidak berlaku bagi binatang. Baik orang tua maupun para pendidik senantiasa mengajarkan etika demikian dalam hal makan. Lantas, mengapa ada lomba yang mendegrasi kemuliaan etika cara makan manusia. Cara makan dengan tangan diikat ke belakang dan langsung dengan mulut, jelas mendegrasi cara makan manusia seperti cara makan binatang. Begitulah kurang lebih alasan mengapa sang guru tersebut sangat tidak setuju terhadap segmen lomba makan krupuk sebagaimana lazim terjadi selama ini.
Memanag ada yang beralasan, bahwa lomba itu hanya semacam hiburan, refreshing atau alasan lain. Tetapi sang guru tersebut tetap tidak dapat memberikan tolrensi. Sebab, menurutnya sesuatu yang sepele akan menjadi kebiasaan jika berulang-ulang dilakukan. Suatu tontonan bila sering dilihat sering dilihat akan berubah menjadi tuntunan. Bahkan tidak mustahil, hal demikian jika terus dibiasakan akan tersimpan di alam bawah sadar dan kemudian terpola menjadi karakter seseorang. Bagaimana pula jika hal demikian dilakukan secara kolektif oleh masyarakat?
Saya sempat tertegun lama mendengar pandangan guru tersebut. Tampak dia sangat responsif terhadap nilai-nilai edukatif yang terjadi pada murid. Sikapnya tentang lomba makan krupuk menunjukkan kepekaanya kepada nilai-nilai edukasi dalam aktivitas anak didik, kapan pun dan di mana pun. Sikap tersebut sekaligus tentu menunjukkan kecintaannya kepada siswa. Dalam pandangannya, sekecil apa pun potensi yang menyebabkan perilaku tidak terpuji, tidak pula dilakukan murid. Sebab, apabila dibiasakan dan sudah menjadi karakter akan sulit mengubahnya.
Sikap nylenehnya yang mengomentari hal-hal kecil juga merefleksikan kedalamannya tentang makna pendidikan. Yang demikian tentu tidak serta di dapat. Melainkan diperoleh dari literasi dan refleksi yang panjang. Yang demikian, juga tidak mungkin terjadi jika sang guru tidak mencintai ilmu.
Dalam konteks ini tampaknya sangat sahih apa yang ‘difatwakan’ oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Prof. Abdul Mu’ti, bahwa seorang pendidik harus mencintai murid dan mencintai ilmu. Yang dimaksud mencintai murid tentu bukan sekedar basi-basi, tetapi benar-benar tulus seperti mencintai diri sediri dan keluarganya. Sedangkan maksud mencintai ilmu, menuntut guru untuk terus belajar dan beradaptasi dengan perkembangan ilmu yang diajarkan. Karena perkembangan ilmu terus terjadi, maka sejatinya juga menuntut guru untuk belajar sampai akhir hayat. Paling tidak, selama menjadi guru .
Dalam konteks mencintai murid dan mencintai ilmu, kepekaan edukasi guru juga harus diwujudkan terhadap kepekaan terhadap diri pribadi. Kepekaan terhadap diri ini juga mencakup ketiga aspek pendidikan, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Jika ada pepatah “guru kencing berdiri murid kencing berlari” itu hanya merupakan peringatan bagi guru bahwa perilaku negatif guru akan menjadi pendidikan tidak langsung bagi murid. Bahkan efeknya sering melebihi ‘ekspektasi’ yang dibayangkan guru sendiri. Dalam konteks ini seorang guru memang harus selalu terngiang di telinga firman Allah SWT. Pertama: Mengapa kamu menyuuruh orang lain, (mengerjakan) kebaikan, sedangkan kamu melupakan diri (kewajiban) mu sediri? ( Al Baqarah, ayat 44). Kedua: Wahai orang beriman, mengapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan yang tidak kamu kerjakan (Ash Shaf, ayat 2-3)
Semoga menjadi bahan renungan bagi para pendidik kita. We love you all.