beritalima.com | Untuk alasan formil, Perppu No 1 tahun 2020 telah memenuhi syarat dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Dalam hal ini kita berada paa kondisi kedaruratan dalam pengaturan karena kita sedang dilanda pandemi Covid-19. Pernyataan ini disampaikan Pakar Hukum Tata Negara Dr. Umbu Rauta dalam diskusi Webinar Institute for Action Against Corruption (IAAC) yang diadakan pada hari Jumat (1/5/2020).
Dalam diskusi online bertajuk “Menakar Potensi Korupsi Dalam Penanganan Pandemi Covid-19′ tersebut hadir beberapa pembicara lainnya, yakni mantan Komisioner KPK, Saut Situmorang, Politisi Partai Solidaritas Indonesia, Rian Ernest, dan Pengamat Hukum, Chrisman Damanik.
Umbu Rauta menyampaikan bahwa pandemi Covid-19 bukanlah kedaruratannya, melainkan merupakan “trigger”. Menurut Rauta, pandemi ini sudah dinyatakan sebagai bencana non alam dan kedaruratan kesehatan. Pandemi ini berdampak pada berbagai bidang seperti system keuangan, pendidikan, ketenagakerjaan, sosial, ekonomi dan sebagainya.
“Wewenang presiden untuk menerbitkan Perppu dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Secara teoritik, kegentingan memaksa bersifat subjektif dari seorang presiden. Kegentingan memaksa dalam konteks ini adalah darurat peraturan yang artinya: belum ada aturan sama sekali atau, aturan yang sudah ada belum memadai,” jelasnya yang merupakan Akademisi Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) ini.
Umbu Rauta menekankan bahwa untuk menanggulangi dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian nasional, Pemerintah bertanggung jawab untuk menjaga stabilitas ekonomi dengan menjaga ketersediaan sumber daya keuangan.
“Kita sudah menetapkan UU APBN 2020 namun UU tersebut dibentuk dengan asumsi yang belum mempertimbangkan kondisi pandemi. Dalam kerangka itulah peraturan yang kita miliki belum memadai sehingga Perppu No.1 Tahun 2020 memenuhi syarat sebagai hal ikhwal kegentingan yang memaksa” tandasnya.
Mantan Komisioner KPK 2014-2019, Saut Situmorang menilai bahwa walaupun Perppu No.1 Tahun 2020 dianggap telah menganulir poin kerugian negara, namun masih ada tujuh bentuk lain dari tindak pidana korupsi seperti gratifikasi dan penyuapan.
“Berdasarkan pengalaman kami, tindak pidana korupsi terjadi bukan karena tidak adanya peraturan, tidak adanya asistensi, atau tidak adanya pengawasan dan tidak adanya pencegahan, melainkan persoalannya terletak pada conflik of interest, integritas, dan mismanagement,” kata Saut.
Saut menyerukan kepada para aparat penegak hukum bahwa KPI yang harus dipenuhi adalah UU Tipikor. Disana terdapat keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
“Kepada para pemangku kepentingan saya ingatkan, jangan melakukan persekongkolan, jangan menerima suap, gratifikasi dan jangan ada benturan kepentingan,” tegasnya.
Pengamat Hukum, Chrisman Damanik dalam paparannya menjelaskan bahwa Perppu No. 1 Tahun 2020 harus dilihat sebagai upaya dan itikad baik dari pemerintah untuk menanggulangi persoalan Covid-19 dengan pengelolaan keuangan negara yang tepat.
“Bahwa pro dan kontra itu sesuatu yang sangat lazim dan pasti terjadi dalam setiap situasi apapun itu kondisinya. Oleh karena itu yang dapat kita lakukan adalah memperkuat fungsi pengawasan terhadap penggunaan anggaran negara agar tetap berjalan dengan itikad baik, yakni mengembalikan kondisi darurat akibat pandemi Covid-19 menjadi normal kembali,” pungkas Chrisman.