SURABAYA, beritalima.com|
Rekonstruksi tragedi Stadion Kanjuruhan akhirnya digelar pada Rabu, 19 Oktober 2022. Namun, dalam proses rekonstruksi tersebut, tidak ada gas air mata yang ditembakkan polisi ke arah tribun penonton di Stadion Kanjuruhan.Tembakan gas air mata hanya ditembakkan ke arah sentel ban dan lintasan lari sisi selatan.
Pakar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Sapta Aprilianto SH MH LLM, melalui wawancara dengan UNAIR NEWS pada Selasa (25/10/2022) mengatakan rekonstruksi biasanya dilakukan setelah adanya penetapan tersangka. Namun, ujarnya, dalam beberapa kasus terutama di mana terjadi kekacauan, penetapan tersangka dapat dilakukan setelah dilaksanakan rekonstruksi.
“Rekonstruksi itu mereka adegan yang mana diduga ada perbuatan pidana di situ. Pada tragedi Kanjuruhan, ada perbuatan pidana yang akhirnya digali di proses lidik,” tutur Sapta.
Rekonstruksi Bertujuan untuk Mencari Fakta Hukum
Sapta mengatakan peristiwa pidana dalam tragedi Kanjuruhan masih abu-abu apakah terjadi karena gas air mata, full overload penonton, pintu keluar stadion yang kecil, atau justru semuanya berkaitan. Oleh karena itu, sambungnya, fakta-fakta yang ada perlu didalami apakah benar itu merupakan fakta hukum atau bukan.
“Setidaknya rekonstruksi itu berupaya untuk membuat terang tindak pidana. Benar atau tidaknya rekonstruksi itu ya semua tidak tahu, penyidik juga tidak tahu awalnya, makanya diadakan rekonstruksi. Untuk membuat tindak pidananya semakin terang, bisa jadi juga ada rekonstruksi ulang,” jelas Sapta.
Fakta Hukum Harus Disampaikan di Persidangan
Sapta memaparkan apabila terdapat fakta hukum bahwa gas air mata ditembakkan ke arah tribun penonton dan polisi yang menembaknya, maka dapat disampaikan di persidangan. Selain itu, lanjut Sapta, dalam kasus ini juga tidak dapat dilakukan upaya praperadilan.
“Apa pun faktanya tetap ada kekerasan dari penegak hukum. Namun, apakah kekerasan dari penegak hukum berakibat pada kematian supporter? Ya bisa saja berkaitan karena ada gas air mata tadi,” imbuh Sapta.
Penghilangan Barang Bukti Termasuk Obstruction of Justice
Sapta juga menegaskan tindakan rekonstruksi pidana yang tidak sesuai dengan kejadian di lapangan sah-sah saja dilakukan dan tidak termasuk perbuatan pidana, apalagi jika terjadi kekacauan dan hilangnya barang bukti karena kekacauan tersebut. Namun, ucap Sapta, apabila terjadi kesengajaan dalam menghilangkan barang bukti maka hal itu termasuk tindak pidana obstruction of justice. Obstruction of justice sendiri merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku untuk menghalang-halangi suatu proses hukum.
“Aparat penegak hukum harus objektif. Mereka harus melaksanakan proses penyidikan ini didasarkan pada fakta sebagaimana prinsip penegak hukum untuk menggali semua fakta. Demi memantapkan dugaan tindak pidananya, harus didasarkan pada dua alat bukti. Penegak hukum juga harus berprinsip tidak ada fakta yang tidak disampaikan,” pungkasnya.(Yul)