SURABAYA, Beritalima.com|
Beberapa waktu lalu masyarakat sempat dikejutkan oleh kasus kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh anak anggota DPRD Bekasi. AT yang berusia 21 tahun menjadi tersangka atas kasus pemerkosaan terhadap anak perempuan berusia 15 tahun. AT menyerahkan diri dengan diantar oleh ayahnya pada Jumat (21/5/2021).
Amira Paripurna, S.H., LL.M., Ph.D pakar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga mengatakan kasus tersebut menerapkan UU perlindungan anak.
“Pelaku ini masuk kategori dewasa sedangkan korbannya adalah anak-anak,” ujarnya.
Kriteria anak yang menjadi korban tindak pidana dalam hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 4 UU Sistem Peradilan Anak/UU SPPA yang menjelaskan bahwa anak adalah seseorang yang berusia kurang dari 18 tahun dan mengalami penderitaan fisik, mental dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindakan pidana.
Mira menjelaskan pada kasus ini undang-undang yang digunakan adalah UU Perlindungan Anak yaitu UU No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dan UU No. 17 Tahun 2016 tentang penerapan Perpu No. 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak menjadi UU. Perlindungan anak yang menjadi korban pemerkosaan juga telah diatur dalam undang-undang.
“Pada prinsipnya, anak yang menjadi korban tindak pidana berhak atas semua perlindungan dan hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 89 UU Sistem Peradilan Anak,” terang Mira.
“Anak tidak hanya berhak atas hak-hak yang dijamin dalam UU SPPA tapi juga hak-hak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lain di luar SPPA yaitu UU Perlindungan Anak,” imbuhnya.
Perlindungan yang diberikan dalam hal ini ada beberapa hal. Pertama, penanganan yang cepat termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya.
Kedua, pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan. Ketiga, pemberian bantuan sosial bagi anak yang berasal dari keluarga tidak mampu. Keempat, pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan.
“Selain itu korban juga berhak atas bantuan hukum di setiap tahap pemeriksaan serta proses peradilan dan berhak mendapat rehabilitasi dan jaminan keselamatan lainnya,” tutur Mira.
Lebih lanjut Mira menjelaskan dalam berjalannya proses peradilan meski pelaku berniat untuk menikahi korban atau bahkan meminta maaf maka tidak akan mempengaruhi hukuman yang akan didapat.
“Menikahi korban dan meminta maaf dari sisi hukum pidana bukanlah alasan penghapusan pidana,” jelasnya.
Penyelesaian kasus kejahatan seksual dengan menikahkan korban dengan pelaku memang sering terjadi namun ternyata hal ini tidak akan menyelesaikan masalah tetapi akan melanggar pemenuhan rasa keadilan terhadap korban.
“Ketika korban dinikahkan dengan pelaku akan berpotensi mengalami kekerasan seksual untuk kedua kalinya dan membahayakan kesehatan reproduksinya karena akan berpotensi terjadi pemaksaan seks dalam perkawinan,” tutup Mira. (Yul)