SURABAYA, beritalima.com|
Presiden Republik Indonesia resmi mengesahkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja atau akrab disebut dengan Perpu Cipta Kerja. Perpu tersebut ditetapkan oleh Presiden Jokowi pada Jumat (30/12/2022).
Menanggapi perihal tersebut, Dr Mohammad Syaiful Aris SH MH LLM yang merupakan pakar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga menyampaikan pandangannya.
Menurut Dr Aris, Perpu merupakan produk hukum yang dikeluarkan pada saat darurat. Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945. Pasal tersebut menyatakan bahwa Perpu dikeluarkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Adapun hal ihwal kegentingan yang memaksa tersebut terbagi atas unsur subjektif dan objektif.
“Ada unsur subjektif dalam lahirnya Perpu, yaitu subjektivitas presiden terhadap kebutuhan mengeluarkan Perpu. Namun, ada unsur objektif yang diatur melalui Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Unsur objektif tersebut terdiri dari tiga. Pertama, ada kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang. Lalu, tidak ada Undang-Undang atau ada, tetapi tidak lengkap (kekosongan hukum, red). Terakhir, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa,” jelas Dr Aris.
Dr Aris berpandangan bahwa dari segi kewenangan, tidak ada masalah dalam Perpu Cipta Kerja. Hal itu karena memang presiden memiliki wewenang mengeluarkan Perpu. Akan tetapi, Perpu pun tidak lepas dari upaya
hukum untuk dilakukan pengujian.
“Secara kewenangan, tidak ada masalah (soal Perppu Cipta Kerja, red) karena presiden memang punya kewenangan. Namun, perihal sah tidaknya secara formil dan materiil, alat ukurnya berada pada tahap proses di DPR. Itu karena DPR yang diberi kewenangan untuk menentukan apakah Perpu tersebut sudah sesuai dengan UUD NRI 1945 baik secara formil maupun secara materiil. Soal MK sendiri, MK sudah bisa melakukan judicial review terhadap perpu,” papar Dr Aris.
Pada akhir, Dr Aris juga menyorot persoalan Perpu Cipta Kerja dengan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Putusan tersebut merupakan putusan yang menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 inkonstitusional bersyarat. Menurutnya, ada pertentangan yang terjadi antara putusan tersebut dengan Perpu Cipta Kerja.
“Perlu ditegaskan bahwa Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 mencakup dua poin terhadap UU Cipta Kerja, yaitu formil dan materiil. Persoalan formil, telah dijawab oleh legislator melalui revisi terhadap Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sementara itu, materiil pada aspek meaningful participation. Konsep itu merupakan konsep partisipasi sesungguhnya yang melibatkan pihak terdampak dan pihak yang memiliki perhatian,” papar Dr Aris.
Dalam persoalan materiil itu, Dr Aris merasa terbitnya Perpu Cipta Kerja bertentangan dengan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Ia merasa bahwa mustahil adanya partisipasi masyarakat pada pembentukan Perpu. Itu mengingat Perpu merupakan produk hukum yang dikeluarkan di situasi darurat.
“Dalam hal ini, Perpu Cipta Kerja berseberangan dengan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Hal itu karena kalau produk hukum berupa Perpu, tidak mungkin meaningful participation terwujud. Apabila terjadi situasi yang genting, tidak mungkin aspirasi menjadi penting, saya melihat ada pertentangan di sini. Perpu tidak ideal untuk memberi ruang partisipasi bagi masyarakat,” pungkas Dr Aris. (Yul)